Syrian refugees try grabbing a food in a park where they live with their families on November 3, 2013, in Istanbul. According to the Turkish disaster management agency, the number of Syrian refugees in Turkey has exceeded 600,000 and more than 400,000 of them are living outside refugee camps. Turkey, which shares a 900-km (560-mile) border with Syria, is a strong critic of Syrian President Bashar al-Assad and a main supporter of the rebels fighting against him. It has said it will maintain its "open door" policy to those fleeing the Syrian civil war, now in its third year, although it has closed border crossings from time to time following clashes near the frontier. AFP PHOTO/BULENT KILIC (Photo credit should read BULENT KILIC/AFP/Getty Images)
Faizal Rizki Arief
Faizal Rizki Arief

Jakarta, Aktual.com — Pernah, Khalifah Sayyidina Umar ibn Khattab ra selama sembilan bulan dalam masa pemerintahannya menghadapi krisis ekonomi teramat hebat.

Sebagian besar tanah di jazirah Arab mengalami kekeringan. Panen gagal, mata air tak lagi mengeluarkan air. Kambing, unta dan kuda tak lagi bisa menikmati rumput dan dedaunan sebagai makanan kesehariannya. Mereka berbagi gandum dengan pemiliknya agar bisa hidup.

Satu dua dan tiga bulan mereka bisa bertahan. Ketika memasuki bulan-bulan berikutnya, mereka tak lagi mampu bertahan. Harga gandum, dan apa saja yang bisa dimakan naik berkali lipat. Akibatnya ribuan ternak mati. Yang membuat Sayyidina Umar sangat berduka adalah ketika ribuan manusia juga ikut mati.

Beberapa riwayat menceritakan, Sayyidina Umar yang kulitnya putih itu berubah menjadi kehitaman karena selama sembilan bulan penuh dia jarang berada di rumahnya. Dia selalu berkeliling di seluruh penjuru kota Madinah untuk melihat apakah rakyatnya bisa makan atau tidak. Dan perlu diketahui, saat itu terjadi jadi urbanisasi besar-besaran dari desa-desa di seluruh jazirah Arab ke Madinah. Mereka mengungsi ke Madinah dengan satu tujuan untuk mendapatkan gandum agar tetap hidup.

“Hitunglah orang-orang yang mendapatkan jatah makanan malam dari kita…Hitunglah keluarga kaum muslimin yang belum datang, orang yang sakit dan anak-anak,” kata Sayyidina Umar setiap malam saat evaluasi harian dengan beberapa sahabatnya di dalam tendanya.

Beberapa riwayat juga bercerita, Sayyidina Umar bersumpah tidak akan makan gandum sebelum krisis itu selesai. Dia memerintahkan bagi yang berkecukupan untuk membagikan hartanya ke tetangga yang tak berkecukupan dan pengungsi yang ada. Dia meminta juga negara tetangga untuk memberi bantuan unta, pakaian dan selimut.

Sebuah cerita juga menjelaskan, dengan memakai pakaian dengan enam belas tambalan di sana-sini, dia ikut membagikan makanan, memanggul karung gandum sampai memasak di dapur umum.

Satu hal yang ada dipikiran Sayyidina Umar saat itu: bahwa bukan dia, bukan orang berkelebihan yang harus diselamatkan dulu dari krisis. Tapi rakyat kecil, rakyat yang memberi amanah suci kepemimpinan kepadanya. Dan Sayyidina Umar memastikan dia harus hadir bersama rakyatnya dalam krisis itu. “Bagaimana mungkin mereka mendapatkan kepedulian dariku, jika yang menimpa mereka ternyata tidak menimpaku juga?”. Itu kata Sayyidina Umar saat itu.

Untuk beban amanah yang sangat berat ini, hampir setiap penghujung malam selama sembilan bulan penuh, air mata Sayyidina Umar selalu menetes dalam setiap shalat malam dan doanya: “Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kebinasaan umat ini melalui tanganku.”

Ini hakikat kepemimpinan yang harus tetap dimiliki oleh setiap pemimpin di negara ini untuk keluar dari krisis.

Untuk menghadapi krisis, negara (seorang pemimpin) harus memastikan bahwa rakyat kecil harus tetap bisa memenuhi kesejahteraan minimalnya. Apapun caranya. Dalam bahasa teori ekonomi, rakyat kecil harus dipastikan tetap mampu memenuhi kebutuhan pokoknya meski harga bahan pokok yang ada naik. Apapun caranya.

Negara juga harus memastikan, yang besar dan berkecukupan seyogyanya membantu secara gotong royong ke yang kecil. Dalam bahasa ekonomi, pendapatan orang kaya atau perusahaan besar harus rela dinaikkan pajaknya untuk menolong yang kecil. Bukan usaha kecil atau pendapatan orang kecil yang dinaikkan pajaknya.

Negara juga harus memastikan, tidak ada sekelompok atau golongan tertentu yang ingin memanfaatkan krisis yang terjadi untuk meraup keuntungan besar dari krisis. Kalau perlu, negara secara tegas memberi peringatan dan ancaman. Dalam bahasa ekonomi, negara harus mampu meminimalisir kepentingan bisnis atau kepentingan politik yang memanfaatkan krisis untuk keuntungan pribadi atau kelompok di atas penderitaan rakyat.

Dan yang paling penting, negara (pemimpin) harus memastikan hadir dan selalu ada di sisi rakyatnya saat krisis. Jangan pernah terjadi, apa yang dilakukannya buat rakyatnya ternyata ada motivasi lain untuk menyelamatkan posisi, kekuasaan politik, kepentingan bisnis atau pencitraan belaka. Dalam bahasa politik, negara (pemimpin) harus bisa meyakinkan rakyatnya bahwa semua kebijakan yang dilakukan saat krisis murni, 100 persen, untuk kepentingan rakyat. Bukan kepentingan kekuasaan, partai, bisnis atau pribadi.

Akhirnya, selama sembilan penuh perjuangannya, kesabaran Sayyidina Umar bersama rakyatnya dalam menghadapi krisis berbuah berkah. Hujan mulai turun di seluruh jazirah Arab. Seluruh pengungsi yang ada kembali ke rumah dan desanya masing masing dengan senyum syukur.

Riwayat juga menceritakan, kesejahteraan rakyat pascakrisis di bawah kepemimpinan Sayyidina Umar mengalami peningkatan cukup pesat. Negara saat itu bisa memutuskan bahwa bagi setiap anak yang baru lahir dalam sebuah keluarga akan diberi uang 100 dirham saat itu. Kalau anak itu menginjak remaja akan diberi bantuan lagi sebesar 200 dirham.

Semoga, negara ini mampu menjadikan krisis ini sebagai berkah…