Jakarta, Aktual.com —  PT PLN (Persero) mengklarifikasi pernyataan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli terkait tudingan adanya praktik mafia dalam pembelian pulsa (token) listrik prabayar PLN.

“Berulang kali di media masa disampaikan ke publik informasi yang perlu diluruskan hal listrik prabayar. Boleh jadi ada dapat info yang perlu diklarifikasi menyamakan beli pulsa telpon Rp100 ribu dengan harga Rp95 ribu, sedangkan kalau beli pulsa listrik, beli Rp100 ribu dapat Rp75 ribu. Padahal, kalau beli pulsa listrik, beli Rp.100 ribu, dapat 75 kWh. So, berbeda satuan,” terang Head of Commercial Division PLN Benny Marbun dalam siaran persnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (8/9).

Ia mencontohkan, pelanggan rumah tangga dengan daya 1300 volt ampere (VA) membeli pulsa listrik sebesar Rp100 ribu. Maka yang diperhitungkan dalam pembelian token tersebut antara lain administrasi bank Rp1600 (tergantung bank), biaya materai Rp0 karena transaksinya hanya Rp100 ribu, Pajak Penerangan Jalan Rp2.306 atau PPJ di DKI 2,4% dari tagihan listrik.

“Ini yang membedakan beli pulsa telpon dan beli pulsa listrik. Beli pulsa listrik ada PPJ.‎ Sisa rupiah untuk listrik yaitu Rp100.000-(Rp1.600+Rp2.306)= Rp96.094.‎ Maka, listrik yang diperoleh = Rp96.094/1.352 = 71,08 kWh. Di mana tarif listrik adalah Rp1.352/kWh. So, ketika membeli listrik Rp100 ribu, dapatnya 71,08 kWh.‎ Besaran kWh inilah yang dimasukkan ke meter, bukan Rp71 ribu,” ungkap dia.

Sekadar informasi, biaya materai untuk transaksi lebih dari Rp250 ribu sampai Rp1 juta dikenakan biaya sebesar Rp3.000. Sementara di atas Rp1 juta dikenakan biaya Rp6.000. Sedangkan PPJ dipungut atas dasar Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Seluruh hasil pungutan PPJ disetorkan ke Pemda.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka