Jakarta, Aktual.co — Presiden Indonesia ke-4, KH Abdurrahman Wahid (alm), telah lama meninggalkan kita rakyat Indonesia. Tanggal 30 Desember 2009 silam, cucu pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdhatul Ulama (NU) meninggal. Semasa hidupnya ia disemati sebagai bapak pluralisme.

Kepemimpinannya menggunakan pendekatan humanis. Introleransi mendapatkan perhatian lebih dari Gus Dur, sapaannya. Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama ini juga tidak hanya pandai beretorika tentang pluralisme, akan tetapi mengambil posisi terdepan dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas.

Pemikiran-pemikirannya brilian nan visioner disebut-sebut acap melampui batas. Karenanya oleh santri-santri dikalangan NU, ia dikatakan mempunyai ilmu lebih. Weruh sakdurunge winarah, mengetahui sesuai yang akan terjadi.

Di atas itu semua, ada sejarah yang menjadi titik-balik kehidupan Gus Dur.

Bulan ini di tahun 1953, Gus Dur kehilangan sosok yang dicintainya. Ayahandanya, KH Wahid Hasyim, dipanggil Sang Khalik setelah mengalami insiden kecelakaan di Jawa Barat.

Saat itu, KH Wahid Hasyim mengajak Gus Dur ke Jawa Barat untuk meresmikan pembangunan madrasah baru. Dalam perjalanan di daerah pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur selamat dalam kecelakaan tersebut, namun ayahnya meninggal.
 
Diceritakan KH Hasib Wahab, pengasuh pesantren Tambak Beras Jombang sebagaimana dikutip Aktual dari website NU,  cita-cita besar KH Wahid Hasyim adalah menjadi petinggi di negara ini. Baik itu Presiden atau Perdana Menteri.

Untuk mewujudkannya, ia melakukan berbagai usaha secara lahir dan batin melalui tata laku riyadhoh.

Riyadhoh dimaksud adalah kegiatan spiritual yang disunahkan dalam Islam. Diantaranya puasa, sholat tahajjud, menghafalkan ayat-ayat Alqur’an dan hadist-hadist nabi. Tirakat ini dijalani dengan resiko berat. Bila gagal menjalaninya sampai akhir bisa menyebabkan kematian. Berat karena dalam bab puasa misalnya, harus dijalani selama lima tahun penuh.

Apapun kondisinya, ia senantiasa menjalankan tirakatnya. Diceritakan bagaimana suatu ketika ia dihadapkan pada tantangan berat, kehadiran tamu besar. Mau tidak mau, untuk menghormati tamu, ia sampai harus berpura-pura makan bersama.

Hingga Sang Kholik menjemputnya, KH Wahid Hasyim tetap konsisten dengan riyadhoh-nya. Takdir berhendak lain, hingga 3 tahun 8 bulan puasa yang dijalaninya, ia mengalami kecelakaan di Cimahi, Jawa Barat.

“Ia (KH Wahid Hasyim) meninggal belum sempat menyelesaikan riyadhoh-nya atau mencapai cita-citanya, tetapi yang berhasil mencapai adalah putra pertamanya, Abdurrahman Wahid yang kita kenal sebagai Gus Dur yang berhasil menjadi presiden ke-4 RI,” demikian Aktual kutip dari laman www.nu.or.id.

Artikel ini ditulis oleh: