Jakarta, Aktual.com – Persoalan di jual beli lahan RS Sumber Waras ternyata bukan dimulai saat dibeli Pemprov DKI di tahun 2014 saja, seperti dalam temuan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Sengkarut kepemilikan lahan ternyata sudah terjadi sejak lama. Yakni saat terjadi saling tarik menarik kepemilikan sah lahan antara pengurus Perhimpunan Sosial (PS) Candra Naya dengan Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW), yang bisa dianggap merupakan ‘anak kandungnya’ sendiri. Lantaran YKSW merupakan yayasan yang dibentuk Candra Naya.

‘Korban’ sudah jatuh satu. Yakni Ketua PS (PS) Candra Naya, I Wayan Suparmin. Sejak 20 Juni 2015, pria langsing berkacamata itu harus merasakan dinginnya lantai Rumah Tahanan Salemba. Wayan dijebloskan ke penjara akibat sengketa kepemilikan lahan RS Sumber Waras dengan YKSW.

Kepada Aktual.com , kuasa hukum Wayan, yakni Jimi Stefanus Boy membeberkan ‘versi dia’ mengenai duduk perkara sengkarut kepemilikan tanah di Jalan Kyai Tapa tersebut.

Dalam penuturannya, cerita dimulai di tahun 1946. Saat berdiri Yayasan Candra Naya yang
sebelumnya bernama Sin Ming Hui. Di Jalan Kyai Tapa, Candra Naya memiliki aset tanah seluas 32.370 meter persegi.

Pada tanggal 20 September 1962, Candra Naya mendirikan Yayasan Kesehatan Candra Naya yang kemudian berganti menjadi YKSW, yang sekarang diketahui merupakan pengelola RS Sumber Waras. Sebagian lahan Rumah Sakit itu berdiri di atas tanah milik PS Candra Naya.

Semua masih berjalan baik-baik saja saat itu. Sampai akhirnya terjadi gonjang-ganjing politik di Indonesia, yakni G-30 S di tahun 1965. Di titik inilah masalah muncul.

Waktu itu, banyak perhimpunan keturunan Tionghoa di Indonesia yang dituding terlibat. Diikuti banyak terjadi perampasan aset mereka oleh Pemerintah Orde Baru. Takut hal serupa dialami Candra Naya, pada tahun 1970, Ketua PS Candra Naya saat itu yakni Padmo Soemasto itu pun membuat langkah sendiri tanpa persetujuan dari Rapat Umum Anggotanya.

Yakni dengan diam-diam menghibahkan tanah milik Candra Naya tersebut ke YK Sumber Waras. Kebetulan saat itu Padmo juga menjabat sebagai Ketua YKSW. “Karena situasi politik Indonesia belum stabil saat itu. Ada dugaan oknum-oknum yang bergabung dalam organisasi terlarang khawatir asetnya akan direbut pemerintah. Itu alasan dihibahkan aset Candra Naya kepada dirinya sendiri (Padmo). Untuk menghindari (direbut),” kata Jimi kepada Aktual.com, saat ditemui di Rutan Salemba, Jakarta Timur, Jumat (11/9).

Kata Jimi, transaksi ‘ganjil’ itu dilakukan di notaris milik Liem Tjing Hien alias Djojo Muljadi, yang tak lain merupakan suami dari Kartini Mulyadi, yang kelak menjabat sebagai Ketua YKSW. Djojo sendiri sempat beberapa kali menjabat sebagai Ketua PS Candra Naya.

Lanjut Jimi, proses hibah yang tidak pernah disahkan dalam Rapat Umum Anggota PS Candra Naya itu pun memunculkan masalah. Pasalnya Candra Naya menganggap tindakan YKSW dan Kartini yang mengakui lahan tersebut sebagai milik mereka, adalah tidak sah dan melanggar hukum.

Kemudian, di tahun 1993, tanpa seizin Candra Naya, YKSW malah menjaminkan sertifikat lahan itu untuk meminjam uang ke Bank Liman Internasional. Saat hutang lunas di tahun 2014, oleh Bank Liman sertifikat itu ternyata dikembalikan ke Candra Naya.

Kartini pun minta sertifikat itu dikembalikan ke YKSW. “Alasannya sudah dihibahkan dulu ke (YKSW),” kata Jimi.

Menurut dia, Kartini diduga mendesak pengembalian sertifikat lahan itu untuk menawarkannya ke pihak Pemprov DKI, setelah berhasil menawarkan lahan rumah sumber waras yang dimiliki YKSW. Dimana di tahun 2014, Kartini diam-diam menjual sebagian lahan YKSW ke Pemprov DKI, yang saat itu diwakili Pelaksana Tugas Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Penjualan ini lah yang kemudian dianggap bermasalah oleh BPK, seperti disebut di LHP. Kata Jimi, keinginan Pemprov DKI yang tadinya berencana membeli keseluruhan RS Sumber Waras, tidak bisa terpenuhi. Karena sebagian RS Sumber Waras yang lokasinya lebih strategis, sertifikatnya masih dimiliki dan dipegang oleh PS Candra Naya, dalam hal ini dipegang Wayan yang menjabat sebagai Ketua PS Candra Naya.

“Kalau dalam AD/ART kekuasaan tertinggi itu ada pada PS Candra Nanya, karena dari sini
munculnya YKSW,” kata dia.

Kesal Wayan tak mau memberikan sertifikat, Kartini kemudian melaporkan dia dengan tuduhan penggelapan kepemilikan tanah. Dalam gugatan yang seharusnya masuk dalam kasus perdata itu, Wayan ternyata dikriminalisasi dan dijerat dengan Pasal 372 KUHP.

Akibatnya, Wayan ditahan sejak Juni lalu di Rutan Salemba, Jakarta Timur. Berdasarkan surat perintah penahanan PRINT3717/0.1.017/EP.1.06.2015 oleh Jaksa Zulkifli, SH.MH. Kemudian pada tanggal 6 Juli berkas perkara nya sudah dilimpahkan ke pihak Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan Nomor Perkara 1222/PID.B/2015PN PN.JAK.BAR.

Padahal, menurut Jimi, Wayan hanya melindungi dan menjalankan tugasnya sebagai ketua Yayasan Candra Naya untuk menjaga aset yang dimiliki sertifikat dengan status hak milik. “Wayan hanya mempertahankan aset, bukan penggelapan, disisi lain dia tidak mempertahankan sertifikatnya bisa dituntut sama anggotanya kan,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh: