Tarakan, Aktual.com – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menilai pengurangan resiko bencana di Indonesia haruslah menjadi budaya. Mengingat posisi geografis Indonesia memang terbilang rawan bencana.
“Harus dibudayakan sehingga masyarakat siap jika terjadi bencana, upaya pengurangan ini bertujuan untuk mengurangi risiko kerugian akibat bencana,” kata Direktur Manajemen Penanggulangan Bencana dan Kebakaran Kemendagri, Sutejo, di Tarakan, Selasa (22/9).
Untuk mengantisipasi bencana, kata dia, tidak hanya dilakukan sebelum kejadian, namun juga pasca kejadian. Pemerintah daerah dan juga aparat penanggulangan bencana juga harus mengerti upaya yang dilakukan.
Sementara untuk kebakaran, kata Sutejo, ada standar pelayanan minimal di bidang ini. Pertama, cakupan layanan, daerah diimbau untuk menyiapkan wilayah manajemen kebakaran (WMK). Dalam setiap WMK harus tersedia personel dan sarana prasarana.
“Contohnya di Tarakan, pemerintah menyediakan WMK di beberapa titik WMK. Nanti kemudian dipahami juga adanya waktu tanggap,” ujar Sutejo.
Untuk waktu tanggap, lanjutnya, untuk kebakaran pemukiman, waktu tanggap bagi pemadam 15 menit dari pemanggilan pertama. Sementara untuk waktu tanggap kebakaran hutan atau lahan 60 menit.
“Jika ada kebakaran di suatu daerah, sebutlah desa A, maka pemadam harus sampai di lokasi maksimal 15 menit. Nah, apakah daerah sudah mencapai itu? Ini harus dievaluasi,” jelas Sutejo. Terkait WMK, dalam rangka peningkatan antisipasi dini, WMK di setiap daerah juga harus ditambah.
“Dengan banyaknya WMK, masyarakat akan merasa aman, merasa dilindungi, karena jika terjadi kebakaran akan cepat diatasi,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh: