Jakarta, Aktual.com — Mari kita menengok kembali krisis Multidimensi 1998. Dan berusaha jujur untuk menjawab pertanyaan ini: Siapa yang paling diuntungkan dari krisis tersebut?
Sejak isu globalisasi muncul, Soeharto sebenarnya sudah mulai mengubah cara pandang geopolitiknya. Dia melihat cara pandang geopolitik yang berdasarkan pengelompokan negara Blok Timur dan Blok Barat sudah hancur ketika gelombang Glasnost dan Perestroika “menghancurkan” Uni Soviet.
Soeharto melihat (dalam kacamata geopolitik dan geoekonomi) saat dunia mulai membentuk kutub geopolitik dan geoekonomi baru yakni Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia dan negara-negara Islam. Tak banyak yang menyadari saat itu bahwa sejak tahun 1985-an Soeharto sebenarnya sudah melihat bahwa perang geopolitik dan geoekonomi akan terjadi diantara kutub-kutub tersebut.
Lalu, apa yang dilakukan Soeharto saat itu?
Ini poin yang paling menarik untuk dibahas. Untuk beselancar diantara kutub kekuatan itu, Soeharto memutuskan untuk tidak bergabung dengan AS, Tiongkok dan Rusia. Dia ingin Indonesia bergabung dengan kutub negara-negara Islam dan menjadi pemimpin negara-negara Islam dunia. Soeharto akan membentuk kutub geopolitik baru dunia: AS, Tiongkok, Rusia dan Indonesia sebagai representasi negara-negara Islam.
Untuk agenda besar itu, secara perlahan, Soeharto mulai mengubah identitas politik Indonesia untuk lebih condong menjadi negara Islam. Dia mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan mengubah namanya menjadi Muhammad Soeharto. Ini adalah strategi dan pondasi awal strategi geopolitik Soeharto saat itu.
Mengapa Soeharto yakin Indonesia akan menjadi kutub geopolitik dan geoekonomi baru saat itu?
Sekadar informasi, blue print pembangunan di rezim Soeharto semua tercatat dalam sebuah Rencana Pembangunan Jangka Panjang I (RPJPI) 1968-1998. RPJP I ini di-breakdown dalam program pembangunan lima tahunan yang sering disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Di Repelita VI ini, tepatnya 1997, berdasarkan catatan data perekonomian saat itu terlihat pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7 persen pertahun. Sedangkan ingkat inflasi selalu bisa dipertahankan di bawah 10 persen. Di sisi ekspor, pertumbuhan ekspor non migas mencapai rata-rata 20 persen per tahun sedangkan pertumbuhan ekspor barang manufaktur rata-rata 30 persen per tahun. Ini sebuah prestasi ekonomi yang sangat bagus.
Beberapa pondasi pembangunan strategis lain juga dilakukan rezim Soeharto dalam skema Repelita-nya adalah tercapainya swasembada pangan (1984), berdirinya IPTN untuk membuat pesawat (komersial dan tempur) dan berdirinya PT PAL untuk membuat kapal (komersial dan tempur).
Di sisi pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, Satelit Palapa sudah diluncurkan. Beberapa pembangkit listrik yang menggunakan komoditas batubara yang sangat berlimpah juga dibangun.
Untuk pengembangan teknologi nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) juga sudah siap untuk bekerja. Di industri mobil nasional, Soeharto bahkan berani melawan Jepang (yang keukeuh saat itu tak ingin melakukan transfer teknologi) dengan mengizinkan Tommy Soeharto menggandeng Korea Selatan untuk memulai proyek mobil nasional Timor.
Di sisi penguasaan geopolitik dan geoekonomi Asia, Soeharto bahkan membuat pondasi penting dengan mendirikan Otorita Batam. Soeharto tak ingin Selat Malaka “dikuasai” terus oleh Singapura.
Langkah ini membuat Singapura sangat ketakutan. Betapa tidak, kalau Otorita Batam semakin kuat maka Singapura nanti akan jadi Singa”ompong”pura, tak punya gigi lagi untuk menguasai Selat Malaka.
Itu belum kemarahan AS, Jepang, Inggris dan Tiongkok yang merasa terusik kepentingan geoekonomi dan geopolitik globalnya di Selat Malaka. Intinya, strategi geopolitik dan geoekonomi global yang dilakukan Soeharto saat itu membuat marah dan ketakutan banyak negara.
Apalagi ketika memasuki tahun 1997, Soeharto sudah mulai merancang Rencana Pembangunan Jangka Panjang II (25 tahun) sebagai kelanjutan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang I dengan fokus Indonesia akan menjadi negara maju yang setara dengan AS, Eropa, Jepang, Tiongkok dan Rusia. Soeharto sering mengistilahkan dengan kata “Indonesia Tinggal Landas”. Soeharto menyatakan bahwa pada 2005 nanti Indonesia tidak akan lagi “dijajah” oleh negara-negara kuat seperti AS dan sekutunya. Dan pada 2020 nanti, Indonesia akan menjadi pemimpin negara-negara Islam yang ada di dunia ini.
Beberapa catatan penting di atas adalah agenda yang dilakukan Soeharto untuk membawa Indonesia menjadi kutub baru kekuatan geopolitik dan geoekonomi global saat itu.
Lalu pertanyaan berikutnya, mengapa terjadi Krisis 1998?
Ingat, saat itu agenda-agenda besar geopolitik dan geoekonomi global Soeharto membuat ketakutan banyak negara. Mulai 1990-an, beberapa negara, terutama AS, sudah mulai menekan Indonesia dengan melakukan destabilisai secara perlahan dengan menggunakan “soft power”. Jutaan dollar bantuan turun (lewat USAIDS salah satunya) ke banyak organisasi massa (termasuk LSM) untuk membentuk perlawanan-perlawanan yang mengatas namakan HAM, anti korupsi, transparansi sampai kebebasan pers. Maklum, saat itu memang kelemahan besar dan mendasar rezim Soeharto adalah di isu HAM, demokrasi, korupsi dan kebebasan berpendapat dan bersuara.
Gerakan “soft power” itu terbukti efektif. Secara perlahan pengaruh Soeharto mulai meredup. Dengan picu krisis perbankan kemudian bergerak ke krisis ekonomi kemudian ke krisis politik dan berakhir di krisis kepercayaan (legitimasi) yang membuat Soeharto tak berdaya lagi.
Ya, puncak krisis multidimensi yang terjadi pada 1998 membuat impian besar Soeharto kandas. Soeharto lengser pascapenandatangan LoI ke dua dengan IMF dihadapan Direktur IMF saat itu, Michael Camdesu. Soeharto kalah dalam “peperangannya” dengan kepentingan banyak negara dan korporasi global yang ada dibalik IMF.
Apa yang terjadi setelah penandatangan tersebut?
Beberapa tahun lalu, sebuah kajian mendalam yang dilakukan harian Kompas dalam bentuk tulisan “Presiden Soeharto dan Misteri Kemelut 1998” menyatakan seperti ini: “Tidak banyak yang memahami bahwa krisis politik itu sebenarnya merupakan skenario besar untuk memenggal agenda tinggal landas (PJP II.red) dan penumbangan Presiden Soeharto merupakan rute paling pendek menguasai aset-aset strategis Indonesia.”
Kompas cukup jeli melihat apa yang terjadi dibalik Krisis Multidimensi 1998 saat itu. Ada kekuatan geopolitik dan geoekonomi besar dibalik IMF agar Indonesia tidak muncul menjadi kutub kekuatan baru dunia. Intinya Indonesia tidak boleh jadi negara besar, tidak boleh berdaulat secara ekonomi, politik dan budaya.
Bahkan secara jelas dan tegas Michael Camdesus dalam sebuah pernyataan di New York Times beberapa tahun lalu mengaku seperti ini: “We created the conditions that obliged President Soeharto left his job”.
Dengan men-dompleng dukungan massa besar anti Soeharto saat itu, kekuatan geopolitik besar dibalik IMF memanfaatkan kepentingannya lewat “janji-janji dewa” seperti deregulasi, debirokratisasi, desentralisasi, privatisasi, HAM dan Transparansi. Dan sebagian elit politik dan massa sempat dibuat terbuai.
Padahal “janji dewa” itu justru membuat sebagian besar aset-aset BUMN dijual ke asing, sumber daya alam kita dijual amat murah dan banyak dikuasai asing, subsidi dicabut, terjadi liberalisasi pasar modal, pasar uang, perbankan dan perdagangan internasional. Bangunan sistem ekonomi politik dan pondasi menuju lepas landas yang dibangun Soeharto selama 30 tahunan itu hancur.
Kekuatan kepentingan asing saat itu mampu mengerek Rupiah dari Rp4000/USD ke Rp17.000/USD. Bahkan lembaga yang sangat strategis dan diandalkan Soeharto untuk membawa Indonesia menjadi negara maju seperti IPTN, PT PAL, PT Pindad, Satelit Palapa sampai Otorita Batam sekarang “tak berdaya”. Program swasembada pangan yang dulu mendapat pujian dunia itu kini hanya jadi program di atas kertas saja. Negara terus dikondisikan agar “lebih nikmat” dengan impor.
Beberapa paket deregulasi, privatisasi dan desentralisasi bahkan memaksa Indonesia tidak lagi berdaulat atas apa yang dimilikinya. Sebagian besar Undang-undang yang ada selalu bermuatan “titipan” atau paksaan akibat konsekuensi pinjaman uang dari lembaga dan negara donor.
Jadi, amat naif jika krisis multidimensi di tahun 1998 itu hanya ditaruh, dianalisis dan diterjemahkan dalam kotak kecil pemahaman sebagai suksesnya penghancuran Orde ‘Tiran’ Baru Seharto. Atau kotak kecil pemahaman sekadar jatuhnya rezim ‘korup dan fasis’ Soeharto.
Krisis tersebut harus dibaca dan ditempatkan juga dalam pemahaman yang lebih luas dengan menggunakan kacamata geopolitik dan geoekonomi global yang terjadi saat itu. Krisis multidimensi tahun 1998 itu sebenarnya adalah momentum besar kepentingan asing untuk menggeser Soeharto, menghentikan Indonesia untuk menjadi keuatan geopolitik dan geoekonomi baru dunia dan sekaligus menguasai (dan menjajah) kembali kekayaan Indonesia.
Lantas, siapa yang paling diuntungkan dari krisis 1998 lalu?
Anda bisa menjawab sendiri pertanyaan itu. Yang jelas beberapa kalangan mengatakan bahwa kepentingan asing lah yang mendesain semuanya agar Indonesia tetap menjadi negara kuli, budak negara asing dan perusahaan multinasional.
Harusnya, krisis 1998 ini bisa jadi cermin kita semua dan tentu buat rezim saat ini untuk berkaca.
(Faizal Rizki Arief)