Jakarta, Aktual.com — Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi menilai, pernyataan yang disampaikan Politikus asal Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Simbiring soal kegaduhan yang terjadi di kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla harus dihentikan membutikan bahwa dia gagal paham secara poltik pencegahan korupsi.

“Dalam perspektif politik pemberantasan korupsi (KKN), mengangkat ke permukaan proyek-proyek pemerintah yang semula tertutup sehingga jadi transparan, seperti dilakukan Rizal Ramli, merupakan cara paling efektif mencegah permainan (korupsi) di jajaran pejabat negara pemegang kuasa atas proyek-proyek itu,” kata Ardhie di Jakarta, Jumat (6/11).

Dia pun mencontohkan, sepak terjang Menko bidang Maritim Rizal Ramli yang ‘mengepret’ Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, perihal rencaba pembelian pesawat Airbus A-350.

“Kalau tidak “dikepret” Rizal Ramli, niscaya hal itu akan berjalan mulus. Sehingga bangsa Indonesia tinggal menunggu hari bangkrutnya maskapai penerbangan nasional itu, sebagaimana terjadi pada MNA (Merpati Nusantara Airlines) karena (dipaksa) membeli pesawat yang tidak diperlukan,” kata dia.

Jadi, ujar Ardhie, apa yang menurut tafsiran Tifatul Sembiring sebagai “kegaduhan”, sejatinya itu adalah pencegahan korupsi, tindakan preventif atas kerugian keuangan negara. Dan hal seperti itu juga (pencegahan kerugian negara) yang dilakukan Rizal Ramli dalam kasus ladang gas raksasa Blok Masela, tambang emas besar yang dikelola PT Freeport, proyek listrik 35 MW, dan banyak lagi.

“Makanya, saya (GIB) menentang saran politisi PKS ini agar “kegaduhan” (pencegahan tindak pidana korupsi) dalam pemerintahan Jokowi dihentikan, dengan berlindung di balik “soliditas kabinet” sebagaimana terjadi dalam kabinet rezim Yudhoyono,” kata dia lagi.

“Padahal, kita tahu dalam rezim Yudhoyono, di mana Tifatul ada di dalamnya, kabinet memang kompak, sangat solid. Karena di antara mereka memang saling menutupi rahasia kegelapan masing-masing.”

Namun demikian, ujar dia, kegelapan sejumlah menteri Presiden SBY ketika itu berhasil dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehinga mereka (Andi Malarangeng, Jero Wacik, Surya Darma Ali, Muhaimin Iskandar) harus berurusan dengan lembaga anti-rasuah itu.

“Dalam sejarah politik nasional, apa yang dilakukan Rizal Ramli sebenarnya bukan hal baru. Jusuf Kalla, saat jadi wapres-nya Yudhoyono (2004-2009), dalam skandal rekayasa bailout Bank Century, bahkan menggunakan bahasa vulgar dan sangar dalam menjelaskan kepada publik atas kebobrokan pemerintahan saat itu: Perampokan!”

Padahal publik tahu, skandal Century yang merugikan keuangan negara lebih dari Rp 6,7 triliun, yang disebut Jusuf Kalla sebagai perampokan, sebagaimana juga diungkap Pansus Century DPR, dilakukan antara lain, Gubernur BI (saat itu) Boediono, Menkeu (kala itu) Sri Mulyani, dan beberapa pejabat negara lainnya yang notabene bawahan Pak JK. Mereka bisa menjalankan “perampokan” dengan leluasa berkat Perppu No 4 Tahun 2008 yang dikeluarkan Yudhoyono, yang notabene adalah atasan Pak JK sendiri!

“Sayangnya, meskipun saat itu posisinya sebagai wapres, karena kurang sungguh-sungguh, Pak JK gagal mencegah kerugian keuangan negara di Bank Century. Sehingga pernyataannya kepada publik pada Senin, 31 Agustus 2009, tentang adanya “perampokan” dan “kriminal” dalam bailout Bank Century, hanya jadi sensasi belaka. Karena skandal Century itu faktanya berjalan sangat mulus. Sembunyi dalam kegelapan ingatan rakyat.”

Dia pun berharap ke depan Tifatul Sembiring dan para politisi PKS lainnya bisa lebih cerdas dalam memahami mana “kegaduhan”, mana “perseteruan politik” dan mana pula langkah preventif penyelamatan aset atau kekayaan negara.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu