Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9). PT Freeport Indonesia kini mendapat izin ekspor untuk Juli 2015 - Januari 2016 dengan kuota ekspor mencapai 775.000 ton konsentrat tembaga. Selain itu Freeport mendapat pengurangan bea keluar menjadi lima persen lantaran kemajuan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di Gresik, Jawa Timur, yang sudah mencapai 11 persen. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/kye/15

Jakarta, Aktual.com — Pakar Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyampaikan cara-cara bermartabat dan elegan dalam mengambil alih Freeport, agar tidak melanggar hukum Internasional dan tidak menyinggung negara lain.

“Dalam era globalisasi, nasionalisasi Freeport berpotensi dituntut dan dikucilkan bahkan dimusuhi dan diserang, untuk itu sebenarnya ada cara lain yang lebih bermartabat bagi Indonesia,” kata Fahmy di Jakarta, Minggu (13/12).

Pemerintah bisa mengambil alih tambang Freeport pada saat Kontrak Karya Freeport berakhir pada 2021 mendatang.

Agar ada kepastian, untuk itu pemerintah mesti mengeluarkan isyarat bahwa Kontrak Karya Freeport tidak akan diperpanjang pasca 2021.

Isyarat yang dimaksud oleh Fahmy berupa Peraturan Pemerintah yang secara eksplisit menyebutkan tidak akan memperpanjang Kontrak Karya Freeport pasca 2021

“Isyarat itu bisa berupa PP. Nanti pada 2019, siapapun presidennya harus memutuskan secara resmi pengambilalihan Freeport yang akan dilakukan pada 2021,” terangnya.

Dirinya menunggu keputusan berani Presiden Jokowi untuk tidak memperpanjang kontrak Freeport dengan megeluarkan isyarat.

Dengan demikian, akan mengakhiri ‘perampokan Legal’ tambang emas Papua serta menyelesaikan pertarungan berbagai kubu makelar.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta