Jakarta, Aktual.com — Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati memperingatkan pemerintah agar memperhatikan tingkat rasio utang Indonesia. Pasalnya laju utang Indonesia sejak Januari hingga November 2015 bertambah hingga Rp466 triliun.
“Pemerintah harus memperhatikan tingkat pertumbuhan utang dengan penerimaan negara. Apakah utang bepotensi default, aman atau tidak, beresiko tinggi atau rendah itu bisa dilihat secara sederhana. Mampu membayar atau tidak, ukurannya adalah bagaimana tingkat penerimaan negara,” ujar Enny di Jakarta, Rabu (30/12).
Menurutnya, utang pemerintah meningkat hingga Rp466 triliun telah mencapai 17,86 persen terhadap PDB. Ironisnya, penerimaan negara menurun, target pajak pun tidak tercapai.
“Pertumbuhan utang meningkat tidak hanya di 2015, namun sudah terjadi sejak 2014, neraca sudah defisit sejak 2014. Sekarang lebih parah lagi, defisit keseimbangan primer meningkat,” jelasnya.
Lalu bagaimana hubungan antara pertumbuhan utang dengan penerimaan negara? Dirinya mencontohkan gambaran utang dan penerimaan yang sering dihadapi masyarakat, contohnya ketika berutang kepada pihak ketiga, tentunya akan dilihat utang tersebut produktif atau tidak. Apabila tidak produktif, maka penerimaan negara harus digenjot untuk menutup utang.
“Jepang utangnya lebih dari 100 persen, Amerika Serikat lebih tinggi, padahal Yunani cuma 60 persen tapi default (gagal bayar utang). Itu semua bisa dilihat dari produktifitas utang,” jelas Enny.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka