Denpasar, Aktual.com – Fair trade alias perdagangan berbasiskan keadilan dipercaya dapat menjadi siasat bagi masyarakat Bali dalam menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai akhir 2015 lalu.
Sekretaris Jenderal Forum Fair Trade Indonesia, Agung Alit mengatakan, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) merupakan skenario dari sistem kapitalis global. Menurutnya, sistem ini tidak hanya mengharuskan kompetisi dan produktivitas, tetapi juga menyebabkan kekerasan ekonomi.
“Tidak bisa bisa dijawab dengan (mewajibkan pekerja asing) mengerti budaya Bali. Tidak bisa dengan budaya-budaya. Siasat kami adalah perdagangan adil,” ujarnya dalam diskusi bulanan AJI Denpasar dengan topik “MEA Peluang atau Tantangan”, Sabtu (9/1).
Praktik perdagangan adil tersebut seperti memberikan uang muka 50 persen kepada perajin yang bekerja sama dengan Mitra Fair Trade serta menjelaskan siapa pembelinya dan dari negara mana. Inti dari perdagangan yang adil, kata Alit, adalah tidak menghisap pembuat barang demi keuntungan semata, melainkan ikut berempati dan solider.
Dia menegaskan, menghadapi pasar bebas, masyarakat tidak perlu anti asing, tetapi ikut melakukan usaha serta meningkatkan kapasitas diri. sementara itu, perwakilan dari serikat pekerja, Ihsan Tantowi menegaskan, penerapan MEA akan semakin merugikan kalangan pekerja.
“Sebelum MEA kami sudah hancur, sekarang ada MEA makin hancur,” jelasnya.
Menurutnya, solusi pasar bebas ASEAN tidak hanya sertifikasi, karena hal tersebut lebih mengutamakan pekerja profesional. Dia mengatakan, selain perdagangan adil, ada cara lain untuk menghadang pasar bebas ASEAN, yakni mengandalkan kekuatan kearifan lokal.
Dia mencontohkan, agar pemda memberlakukan kebijakan yang mewajibkan barang dari luar harus mengadopsi sistem kearifan lokal. Selain itu, pemda didorong membuat batasan-batasan bagi pekerja asing.
Pada saat sama, anggota Komisi II DPRD Bali, Anak Agung Ardhana menegaskan pada tahun ini legislatif akan membahas Perda Perekonomian Rakyat. Beleid ini akan mengatur perlindungan bagi usaha-usaha berbasis kerakyatan demi melindungi dari persaingan bebas MEA.
Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan perda ini akan mengadopsi sistem fair trade. Dengan demikian, perlindungan nyata bagi masyarakat Bali dapat dirasakan.
“Sehingga masyarakat yang pintar atau kreatif dapat keberpihakan baik dalam hal pendanaan maupun saat dia menjual dan memperdagangkan produk,” ujarnya.
Lebih lanjut diakuinya, saat ini proteksi yang dimiliki Bali dalam bentuk perda untuk menghadapi MEA hanyalah Perda Rancangan Induk Pariwisata dan Perda Jasa Konstruksi. Adapun perlindungan untuk tenaga kerja secara keseluruhan belum ada.
Penyebabnya, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bali belum menyerahkan hasil kajian akademik naskah perda perlindungan naker lokal. Dia menegaskan legislatif akan mengarahkan semua perda untuk selalu memberikan keberpihakan kepada tenaga kerja lokal.
Rencana lainnya yang sedang digodok adalah aturan mengharuskan pekerja asing memahami budaya Bali. Karena itu, pihaknya mendorong gubernur membuat standar sertifikasi budaya Bali agar esensi konsep dan prinsip budaya tidak terkikis persaingan bebas.
Pihaknya juga mendorong masyarakat memasarkan produknya, terutama jasa kuliner ke luar negeri, semisal Singapura dan Malaysia.
“Saya dengan dinas perindustrian dan perdagangan sering diskusi. Saya sampaikan pertahanan yang terbaik adalah menyerang,” tuturnya.
Kendati demikian, Agung Ardhana mengakui perda saja tidak cukup tanpa ada upaya penindakan dari eksekutif. Menurutnya, gubernur seharusnya juga membuat peraturan gubernur agar penindakan di lapangan dapat berjalan dengan baik.
Artikel ini ditulis oleh: