Jakarta, Aktual.com — Adalah Vito Nicastri. Dia dijuluki “The Lord of The Wind” di negara asalnya, Italia. Ya. pria berumur 57 tahun ini adalah salah satu pengusaha besar Italia yang bergerak di industri energi baru terbarukan (renewable energy).
Namun sebutan itu berubah menjadi “The Lord of The Wind Mafia” ketika dalam sebuah kesempatan, polisi anti mafia di Italia (Italian Anti-Mafia Police) menangkap pengusaha gaek ini. Vito terbukti melakukan cuci uang hasil kejahatan ‘Godfather’ kelompok mafia Cosa Nostra dari Sicilia, Matteo Messino Denaro. Vito adalah kaki tangan kelompok mafia pimpinan Matteo di bisnis energi baru terbarukan di Italia.
Yang menarik dari kasus ini adalah ketika polisi Italia membekukan beberapa aset dan proyek Vito sebesar USD1,7 miliar. Aset itu terdiri dari 43 perusahaan energi angin dan energi solar (panas matahari) dan 66 rekening bank yang dimiliknya. “The Cosa Nostra is adapting, acquiring more advanced knowledge in new areas like renewable energy that have become more profitable because of government subsidies,” kata Deputy Prosecutor in Charge of Palermo’s Anti-Mafia Squad, Teresa Maria Principato kepada Washigton Post.
Pernyataan Teresa tersebut diperkuat Jen Alic, analis geopolitik OilPrice.com. Bahwa telah terjadi kongkalikong antara mafia dengan oknum petinggi di Italia untuk memanfaatkan subsidi pemerintah dan masih lemahnya hukum di industri energi baru terbarukan di Italia.
Jen Alic yang juga Pemimpin Redaksi ISN Security Watch di Zurich menulis di kolom OilPrice.com seperti ini: “That’s easy: lucrative government subsidies for the construction of wind farms and a fairly lax regulatory system. Geography has also played a role: The wind farms are largely in the country’s south where the Mafia enjoys a strong presence and where they control much of the land. These farms—and other subsidized renewable energy projects—are convenient venues for laundering money”.
Penulis buku “The Wind Farm Sсаm”, Professor John Etherington dari University of Wales bahkan mengatakan kepada The Telegraph seperti ini: “…the wind industry is very fragile, opaque and vulnerable to corruption and crime because of lack of regulation not only in European countries, but outside that region as well”.
Perlu diketahui, diantara negara-negara lain di Eropa, Italia adalah negara yang paling ambisius mempercepat terlaksananya program energi baru terbarukan, terutama program energi angin (wind energy). Sampai saat ini Italia mampu mencapai target lebih dari 5,000 megawatt dari sekitar 300 proyek energi anginnya.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Rebecca Smoko, di departemen Terrorism, Transnational Crime and Corruption Center (TraCCC), George Mason University, Fairfax, Virginia menyatakan bahwa mafia tertarik masuk di industri energi angin karena subsidi yang diberikan pemerintah mampu meningkatkan keuntungan sekitar 200 persen per tahunnya atau sekitar Rp15 miliar per tahunnya.
Pemerintah Italia sendiri menetapkan harga per KWH energi angin yang diproduksi sebesar 180 Euro/kWH atau sekitar Rp27 ribu/kWH. Coba bandingkan dengan tarif listrik PLN terendah untuk konsumsi rumah tangga di Indonesia yang hanya sekitar Rp1400-an/kWh. Sudah tentu, subsidi yang diberikan pemerintah Italia itu adalah surga keuntungan bagi mafia.
Namun, beberapa kritikus dan pengamat energi global membawa kasus ini ke ruang lain: mengapa industri energi baru terbarukan bangkit di Eropa, termasuk di Italia?
Ini jawabannya. Dari sisi geopolitik, lewat proyek global “Global Climate Change” dan “Green Energy” yang didorong langsung oleh AS, percepatan program energi baru terbarukan di Eropa akan sangat membantu upaya AS untuk mendorong pengurangan ketergantungan negara Uni Eropa dari ekspor gas dari Rusia yang masih di angka 80% itu. “…But today, the “green energy” sector has attracted increased attention from organized crime. Criminal circles’ interest in renewable energy is to a large extent fed by the U.S. and its allies’ incentive policy of “energy security” and other incentives in that sector, with a view as well to reducing the buying of Russian natural gas,” tulis Vladimir Paltov, Middle East Expert di majalah New Eastern Outlook beberapa saat lalu.
Sekadar informasi, dibawah traktat perjanjian European “20-20-20”, seluruh anggota negara Uni Eropa mulai tahun 2008 sampai 2020 berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 sampai 20%; meningkatkan energi efisinesi sampai 20% dan memproduksi 20% listrik dari energi baru terbarukan.
Program ambisus negara Uni Eropa ini ternyata diikuti oleh beberapa skenario kotor yang sudah disepakati oleh jaringan mafia global dengan petinggi-petinggi negara Uni Eropa. “The ambitious “20-20-20″ Plan, according to Europol research, has however been faced with obvious legislative incapacity, which has allowed organized crime to infiltrate the energy sector with its capital,” tambah Vladimir.
Kali ini, Vladimir tidak bicara kasus mafia di Italia. Dia bicara jaringan mafia global. Sebuah jaringan yang melibatkan klik kotor perusahan multinasional finansial/ perbankan, perusahaan multinasional energi, pemimpin negara, kepentingan penguasaan ekonomi dan politik global. Ini maksud mafia yang dibicarakan Vladimir.
Karena, harus dipahami, salah satu pernyataan penting pada pertemuan di Davos pada 2013 lalu adalah untuk mewujudkan “Green Global Economy” dibutukan sekitar USD14 triliun. “The world must spend an additional $14 trillion on clean energy infrastructure, low-carbon transport and energy efficiency to meet the United Nations’ goal for capping the rise in average global temperatures”. Demikian pernyataan World Economic Forum dalam sebuah report-nya.
Artinya, pengusaha besar, perusahaan multinasional dan pemimpin dunia harus bersatu mewujudkan itu. Dalam skala global, makna itu juga diartikan seperti ini: siapa saja yang mampu menguasai industri energi baru terbarukan global maka dialah yang mampu mengatur dunia. Maklum, cadangan energi fosil global sudah mulai menipis.
The Green Growth Action Alliance, sebuah koalisi yang terdiri dari 50 perusahaan keuangan, perusahan besar, beberapa pemimpin negara dan beberapa NGO sudah siap mendorong agenda besar Davos tersebut. Koalisi tersebut dibentuk saat pertemuan negara G20 di Meksiko beberapa saat lalu. Koalisi ini dibawah koordinasi World Economic Forum (WEF). Banyak kalangan menilai, inilah jaringan mafia global itu.
Flare Network, sebuah LSM global yang mengkhususkan di kegiatan anti kejahatan transnasional mengingatkan bahaya mafia global yang bermain di agenda “Green Global Economy” dan “Global Climate Change” ini. Organisasi yang beranggotakan 34 LSM yang tersebar di 22 negara ini menyebut ada agenda geopolitik kotor besar dibalik industri energi baru terbarukan di Eropa saat ini.
“We note once again that there is no sector of the economy into which the mafia could not seep, and its penetration does not know geographical boundaries. Organized crime is a problem concerning many countries. Development of the wind turbine and solar power industries is actively promoted by the European Union, and recent events indeed confirm that criminals have already penetrated into this sector in many EU countries. Closing this road to the mafia should be the international community’s main goal,” kata Presiden Flare Network, Michael Curto.
Lalu apa relevansi cerita diatas buat Indonesia?
Ingat, presiden SBY beberapa tahun lalu telah menyatakan Indonesia adalah negara terdepan di agenda “Global Climate Change ini”. Bahkan blueprint untuk memanfaatkan energi baru terbarukan sampai 2025 sudah dibuat.
Sebuah report dari US Departement of Commerce (2010) yang bertajuk “Renewable Energy MarketAssessment Report: Indonesia” menyatakan bahwa Presiden SBY telah membuat keputusan untuk meningkatkan produksi energi baru terbarukan dari 7 persen menjadi 15 persen sampai tahun 2025. Untuk mencapai target itu, butuh sekitar 6.7 GW produksi energi dari beberapa proyek energi baru terbarukan. Energi panas bumi dan dan biogas akan menjadi fokus utamanya dan tidak menutup kemungkinan pengembangan energi baru terbarukan lain seperti angin, solar atau lainnya. “Already several U.S. companies have invested in the Indonesian geothermal sector—a trend that will likely intensify as the policy incentives for geothermal energy continue to improve. U.S. gov¬ernment support for technical capacity-building, resource assessments, and trade promotion are helping spur this development. U.S. government agencies will continue to work with the govern¬ment of Indonesia to maintain a competitive in¬vestment climate for the U.S. geothermal industry”.
Report itu juga mencacat, di pertemuan negara G-20 pada Oktober 2009 lalu, SBY mengeluarkan statemen cukup penting bahwa dengan tambahan bantuan dana dari luar negeri, Indonesia bisa mengurangi emisi karbon sampai 41%. “Indonesia was crafting a policy that would unilaterally reduce its emissions by 26 percent by 2020 and would reduce its emissions by 41 percent with interna¬tional support. To meet the goal, Indonesia will heavily invest in renewable energy and recommit to stopping deforestation”.
Pernyataan penting ini disambut AS dengan disetujuinya pengucuran dana hibah (Millennium Challenge Compact Grant) sebesar USD600 juta dalam dari AS pada 2009 lalu. Kemudian pada 19 November 2011, sebuah perjanjian bertajuk Millennium Challenge Compact Grant Agreement ditandatangani Menteri Luar Negeri Hillary Rodham Clinton dan Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo di Bali untuk melegalkan kesepakatan hibah tersebut. Hibah tersebut akan bergulir pada periode 2013-2018.
Agar kesepakatan itu tidak hancur gara-gara pergantian kepemimpinan maka John Kerry menyempatkan datang ke Indonesia pada Februari 2014 lalu. Tujuan Kerry, seperti yang ditulis oleh nytimes.com adalah: “He aims, in particular, to be the lead broker of a 2015 United Nations treaty committing the world’s economies to significant cuts in carbon emissions and sweeping changes in the global energy economy”.
Kerry (baca AS.red) sadar, bahwa proyek “Global Climate Change”-nya mendapat perlawanan keras dari beberapa negara di Asia Pasifik. China, India dan beberapa negara di Asia Pasifik menolak mentah-mentah agenda besar AS ini. Mereka paham akan konsekuensinya jika mengikuti apa yang diinginkan AS.
Jadi, layak kalau Indonesia jadi negara penting untuk memuluskan agenda geopolitik energi baru terbarukan-nya di kawasan Asia Pasifik. Dan sangat layak juga jika bantuan sebesar USD600 juta itu harus mendulang hasil, minimal untuk memperlancar agenda geopolitik energinya di Asia Pasifik.
Melihat kasus di Eropa dan Italia, seharusnya rezim Jokowi-JK sebagai pengganti rezim SBY-Boediono harus paham dan benar-benar melihat secara detail beberapa rencana program disektor ini. Ada hal mendasar yang perlu diperhatikan, Indonesia belum punya regulasi yang kuat di industri energi baru terbarukan jika dibandingkan regulasi di energi migas. Ini celah paling menggiurkan untuk mafia memainkan strategi gratifikasi agar beberapa keinginannya tercapai.Pahami juga, bahwa rata-rata mafia akan ‘main’ di sekitar subsidi dan pajak. Ini fokus mereka untuk mengeduk keuntungan.
Yang kedua adalah soal penguasaan dan kepemilikan. Dengan rata-rata pengelolaan di atas 20 tahun maka itu menjadi hal penting untuk diperhatikan oleh pemerintah. Mampukah negara (PLN) mengontrol kekuatan kapital (dan mafia energi)? Atau, justru sebaliknya, modal (dan mafia energi) akan mengontrol negara (PLN). Melihat kasus di Italia, kelihatannya negara akan sulit mengontrol mereka. Jadi, pengawasan dari sisi hukum selalu terus dilakukan karena regulasi sektor ini sangat lemah.
KPK dan Kepolisian, seperti yang sudah dilakukan pemerintah Italia, harus tegas dan tidak tebang pilih lagi. Tak peduli itu perusahaan AS atau tidak, kalau melakukan korupsi harus segera ditindak karena ini menyangkut kepentingan dan kedaulatan negara di sektor energi.
Soal agenda besar di geopolitik energi di kawasan Asia Pasifik, Jokowi-JK seyogyanya segera mencermati agenda-agenda dibalik proyek global “Global Climate Change” ini mengingat energi baru dan terbarukan ini penting dan sangat dibutuhkan bagi kelangsungan ketahanan energi nasional, terutama kedaulatan energi negara bangsa ini.