Pengelolaan Blok Masela (Aktual/Ilst.Nelson)
Pengelolaan Blok Masela (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com — Pernyataan Faisal Basri, Mantan Ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Migas tentang rencana konsep pengelolaan blok Masela yang sebaiknya dilakukan dengan konsep offshore atau pengelolaan di atas laut mendapat kritikan dari Tenaga Ahli Bidang Energi di Kemenko Maritim, Dr Haposan Napitupulu

Menurut  Haposan Napitupulu, bagi hasil atau Split Blok Masela adalah 60/40 atau 60% untuk Pemerintah dan 40% untuk Kontraktor setelah dikurangi cost recovery.

“Yang perlu diketahui bahwa jalur pipa yang akan dibangun di skenario Kilang LNG Darat adalah dari Lapangan Abadi ke Pulau Selaru sepanjang 90 km. Proyek ini bukan merupakan proyek pipa terbesar di Indonesia, karena sebelumnya juga pernah dibangun jalur pipa gas laut, masing-masing,” tuturnya ditulis pada Senin (25/1).

Pernyataan tersebut diatas membantah pernyataan Faisal Basri yang menyatakan jika pembangunan pipa dengan skenario darat di blok Masela akan menjadi proyek pipa terbesar di Indonesia.

Haposan membeberkan, sebelumnya berbagai proyek pipa telah dibangun di tanah air, North Bali ke Gresik/Jatim sepanjang 370 KM, Lapangan Kakap/Natuna ke Singapore sepanjang 500 KM, Lapangan Koridor Jambi ke Singapore sepanjang 248 KM dan Lapangan Kepodang ke PLTU Tambaklorok di Semarang sepanjang 100 KM.

” Jenis pipa yang akan dipergunakan untuk transportasi gas di laut merupakan jenis pipa khusus yang dapat menahan tekanan kedalaman air sekian ribu meter, karena posisinya dipasang atau digelar di dasar laut dengan kedalaman sekian ribu meter. Pipa yang khusus untuk dapat menahan tekanan di kedalaman, flexible untuk menahan arus dasar laut dan pergerakan dasar laut. Seperti yang disampaikan oleh Konsultan JG Kenney yang telah melakukan studi jalur pipa atas permintaan kontraktor Inpex,” paparnya.

Sampai saat ini, lanjut Haposan, jenis pipa dengan spek tersebut belum diproduksikan di Indonesia, artinya masih diimpor sebagaimana juga sebelumnya untuk beberpa jalur pipa gas seperti Natuna-Singapore, Kangean-Gresik, dan lain-lain.

Mengacu kepada biaya LNG Laut di Prelude – Australia, maka perkiraan biaya pembangunan skenario Kilang LNG Laut sekitar US$23 – US$26 milyar. Sedangkan perkiraan biaya Kilang LNG darat, mengacu kepada biaya pembangunan 16 Kilang LNG darat yang telah terbangun di Indonesia dan 1 Kilang LNG yang masih dalam tahap perencanaan Kilang LNG Tangguh Train 3, diperkirakan mencapai US$16 milyar (termasuk biaya pembangunan jalur pipa laut  us$1,2 milyar dan biaya pembangunan FPSO sekitar US$2 milyar).

“Sehingga, secara keekonomian skenario LNG Laut lebih mahal, yang akan berakibat tingginya cost recovery atau semakin berkurangnya pendapatan bagian negara (dibandingkan dengan Kilang LNG darat yang biayanya lebih murah),” ungkapnya.

Haposan menyebutkan, tujuan investor membangun kilang LNG Laut bukan karena faktor pendapatannya tergerus, melainkan untuk mendapatkan cost recovery setinggi mungkin dengan beberapa alasan sebagai berikut.

Pertama, riset kilang LNG Laut dilakukan oleh Shell yang sekarang merupakan leading player di pembangunan LNG Laut, yang rencananya akan diimplementasikan untuk pertama kali di dunia di lapangan Prelude – Australia.

“Sehingga jika kilang LNG Laut akan diimplementasikan juga di Masela, maka proyek Masela akan menanggung biaya riset yang telah dikeluarkan oleh Shell,” sebutnya.

Kedua, peralatan proses kilang LNG Laut hanya dibuat oleh Shell, sehingga “Refrigerant” nya proyek kilang LNG Laut di Blok Masela sebagai komponen utama proses LNG hanya akan disuplai oleh Shell, tidak ada pilihan lain.

“Ketiga, dengan pemilihan kilang LNG Laut, harga gas sudah tidak ekonomis lagi bila digunakan sebagai bahan baku untuk industri petrokimia atau industri lainnya, karena LNG lebih mahal sebesar 5-6 $ (karena terdapat biaya proses regasifikasi) dibandingkan harga gas alam dari pipa. Sehingga LNG produk kilang LNG Laut akan “terpaksa” diekspor, khususnya ke Jepang, dalam rangka mengamankan security of supply,” paparnya.

Selain itu, pertimbangan persetujuan POD (Plan of Development) adalah perkiraan pendapatan bagian negara. Dengan lebih tingginya biaya kilang LNG Laut dibandingkan dengan skenario LNG Darat, tentunya bagian negara akan lebih besar dengan skenario LNG Darat dibandingkan dengan  skenario LNG Laut.

Apalagi saat ini, berkembang kabar, spekulan tanah dari Surabaya yang bekerjasama dengan oknum mantan pekerja SKK Migas telah “bermain” dengan telah menguasai tanah-tanah milik masyarakat di sekitar Saumlaki – Pulau Yamdena dengan asumsi pengembangan gas adalah LNG Laut dengan Logistic Shore Base akan dibangun disekitar Saumlaki – Pulau Yamdena.

“Kabarnya para spekulan tanah tersebut telah menawarkan kepada Kontraktor INPEX, bahwa tanah yang ditawarkannya tidak untuk dijual tapi hanya untuk disewakan. Sementara itu, bila yang dipilih adalah skenario LNG Darat, hingga saat ini status kepemilikan tanah di sekitar pulau Selaru yang jarang penduduk sebagian besar masih berstatus tanah adat,” tutupnya.

Sebelumnya Faisal Basri menyindir sikap Menteri Koordinator (Menko) bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli terkait pengembangan kilang di Blok Masela, Maluku yang membuat gaduh dan menciptakan ketidakpastian bagi investor. Bahkan, dia secara terang-terangan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menertibkan Rizal Ramli.

Faisal menambahkan jika kilang tersebut dibangun sejak saat ini, produksi baru bisa dilakukan paling cepat pada 2024. Jika menggunakan skema pipanisasi, maka akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk pembebasan lahan.

Bahkan, jika diasumsikan pembebasan tanahnya berlangsung selama lima tahun, maka kilang di Blok Masela baru berproduksi pada 2029 hingga 2030 mendatang.

“Enggak ada lagi yang percaya investor di sini. Tobat semua, dan pada akhirnya mengatakan ini pemerintahnya serius enggak sih tarik investor. Kok kita dipersulit terus, suatu yang sudah pasti jadi enggak pasti karena omongan satu menteri (Menko bidang Kemaritiman-Rizal Ramli). Ya harus ada penertiban lah (menterinya),” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan