Izin Eksport Konsentrat Freeport (Aktual/Ilst.Nelson)
Izin Eksport Konsentrat Freeport (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com —  Beberapa waktu lalu PT Freeport Indonesia (PT FI) menyampaikan surat kepada Menteri ESDM mengenai masalah kesulitan keuangan terkait permintaan Pemerintah agar PT FI membayar sejumlah USD530 juta sebagai jaminan pembangunan smelter. Kementerian ESDM pun membela Freeport dengan menyatakan bahwa uang jaminan smelter tidak ada deadlinenya.

Pengamat hukum dan sumber daya alam, Ahmad Redi menilai bahwa pernyataan PT FI mengenai kesulitan keuangan merupakan bentuk inkonsistensi PT FI terhadap undang-undang minerba, kontrak karya dan janji investasi. Inkonsistensi PT FI Pertama, Pasal 170 UU Minerba yang mewajibkan PT FI melakukan pemurnian di dalam negeri atas konsentratnya.

“UU Minerba mengandung filosofi bahwa pengusahaan minerba bukan hal bisnis jual beli tanah air, sehingga atas tanah (mineral) Indonesia harus dibawa keluar negeri apabila sudah diolah dan/atau di Murnikan di dalam negeri. Bukan tanah (mineral) mentah/konsentrat yang selama ini dilakukan oleh PT FI,” ujar Ahmad Redi yang juga Pengajar FH Universitas Tarumanagara dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu (6/2).

Selanjutnya, dalam Pasal 10 Kontrak Karya, PT FI pun diwajibkan untuk melakukan pengolahan bijih di dalam negeri atas penilaian bersama dengan Pemerintah dari aspek keekonomian.

“Namun faktanya, PT FI malah membangun pabrik pemurnian di luar negeri, misalnya Spanyol dan Jepang,” ungkapnya.

Ketiga, selama ini PT FI mengumbar pernyataan bahwa akan menginvestasikan dana senilai USD 18 miliar, yang terdiri atas USD 2.5 miliar untuk pembangunan smelter dan USD 15.5 miliar untuk investasi tambang bawah tanah.

“Malah proyeksi investasi tersebut dimasukkan sebagai komponen penghitung harga saham divestasi PT FI yang ditawarkan kepada Pemerintah. Selain bahwa ilusi USD 18 miliar tersebut dijadikan komoditas janji PT FI untuk mendapatkan perpanjangan operasi pasca 2021 ketika KK PT FI berakhir,” jelasnya.

Berdasarkan fakta tersebut, lanjutnya, jelas terdapat inkonsistensi dan itikad tidak baik dari PT FI untuk melaksanakan kewajibannya kepada bangsa dan negara Indonesia. Jelas hal tersebut merupakan bentuk pelecehan kepada bangsa dan negara Indonesia yang menginginkan kehadiran PT FI memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

“Kementerian ESDM pun ditempatkan di posisi sulit oleh PT FI, misalnya dengan menerbitkan izin ekspor setiap enam bulan sejak Juli 2014 sampai 28 Januari 2016. Kebijakan ini seolah melanggengkan ketidakpatuhan PT FI pada landasan filosofi, sosiologis, dan yuridis pengelolaan sumber daya alam Indonesia,” terangnya.

Menurutnya, Menteri ESDM harus tegas dan keras untuk memastikan PT FI membangun smelter dan menyelesaikan progres pembangunan 60% yang saat ini baru mencapai 14%. Menteri ESDM pun selayaknya tidak melakukan revisi atas Permen No.1 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Permen No. 8 Tahun 2015 dalam rangka memberikan kemudahan kembali kepada PT FI.

“PT FI harus memiliki itikad baik untuk melaksanakan kewajiban hukum di Indonesia dan berhenti untuk mencari celah dalam melanggengkan bisnisnya namun merugikan bangsa Indonesia dan tidak menghormati hukum dan peraturan perundang-undangan (law and regulation) di Indonesia. Sumber Daya Alam Indonesua sudah seharusnya digunakan untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka