Jakarta, Aktual.com — Pakar kecantikan kulit dan kelamin Dr dr Renni Yuniati, menegaskan pemahaman masyarakat mengenai kusta sangat memengaruhi keberhasilan penyembuhan penyakit itu.
“Banyak kejadian penderita kusta menghentikan pengobatannya karena muncul reaksi alergi. Alergi itu sering dianggap oleh penderita efek samping obat, padahal bukan,” kata Renni di Semarang, Sabtu (12/3).
Dia menjelaskan, reaksi yang ditimbulkan dalam pengobatan kusta terjadi akibat kuman-kuman kusta yang mati dan tidak semestinya pengobatan kemudian dihentikan.
“Penderita kusta harus menjalani pengobatan secara rutin dalam jangka satu tahun. Namun, penghentian pengobatan justru bisa berdampak pada kecacatan. Jadi, alergi itu harus diobati,” katanya.
Menurut dia, pemahaman masyarakat yang kurang terhadap penyakit yang disebabkan bakteri ‘Mycobacterium leprae’ itu menjadikan Indonesia masih di urutan ketiga penderita terbanyak di dunia.
“Urutan pertama kan India, kedua Brasil, dan ketiga Indonesia. Ya, pemahaman yang kurang menjadikan keberhasilan pengobatan jadi rendah. Makanya, kami terus memberikan pemahaman,” katanya.
Pengobatan kusta selama ini menggunakan obat bernama Lampren dan Dapsone sesuai dengan anjuran dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang kesehatan, yakni WHO.
“Obat ini sudah tersedia di apotek-apotek dan rumah sakit yang bisa diperoleh secara gratis. Kemudian, untuk pengobatan reaksi alergi atau peradangannya menggunakan obat bernama Prednison,” ujar dia.
Namun, dirinya telah meneliti ada obat yang lebih efektif mengobati alergi, yakni Methotrexate.
“Jadi, Methotrexate ini bisa dijadikan ‘sparring’ dengan Prednison. Artinya, keduanya dikombinasi dulu, kemudian dosis Prednison dikurangi, dan setelah itu bisa diganti dengan Methotrexate,” katanya.
Methotrexate, sambung dia, sebenarnya obat untuk kanker, namun efektif mengobati alergi pada pengobatan penderita kusta itu dan termasuk daftar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara