Pencitraan adalah bagian dari politik. Tidak ada politisi yang bisa lepas dari pencitraan. Setiap jabatan publik, yang membutuhkan dukungan publik, dalam tahapan tertentu memerlukan pencitraan. Dalam bahasa positif pemasaran, politisi —sebagai sebuah produk yang mau dijual—membutuhkan branding.
Anda pasti pernah menonton di televisi, di mana politisi yang sedang menemui masyarakat bawah dan sedang diliput media, pasti bertanya-jawab dan beramah tamah dengan warga setempat. Jika ada anak kecil dari warga setempat, biasanya anak kecil ini digendong dan ditimang-timang atau diajak ngobrol oleh si politisi, untuk menunjukkan ”kedekatan dengan rakyat.” Sedangkan apakah kemudian si politisi itu akan betul-betul mengambil kebijakan yang pro-rakyat, itu adalah soal lain lagi.
Meskipun pencitraan sekarang sering dimaknai secara peyoratif (negatif), “pencitraan” sebenarnya adalah istilah netral. Kita semua sedikit banyak melakukan pencitraan. Kalau Anda diundang ke acara resepsi perkawinan, Anda pasti tidak akan datang mengenakan kaos oblong, tapi minimal memakai baju batik, atau syukur-syukur pakai jas. Hal ini karena Anda ingin dipandang secara positif oleh tuan rumah dan masyarakat lain.
Nah, dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) Daerah Khusus Ibukota Jakarta, cukup menarik mengupas gaya pencitraan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang ingin mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan berikutnya. Ahok, seperti Gubernur DKI Jakarta sebelumnya Joko Widodo (Jokowi), sangat sadar akan arti penting pencitraan.
Audiens yang Non-Ideologis
Dalam strategi pencitraan, sangat penting memahami audiens atau khalayak yang menjadi sasaran pencitraan. Audiens itu adalah warga Jakarta, yang bersifat urban, multietnis, multiras, multikultural, kosmopolitan, pragmatis, cair, kurang ideologis, memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi, dan akses informasi yang baik.
Pada pemilu legislatif 2014, PDI Perjuangan menang di DKI Jakarta dengan suara 18,95 persen, disusul Partai Golkar (14,75 persen), Gerindra (11,81 persen), dan Partai Demokrat (10,19 persen). Pada 2009, suara sah di pileg DKI Jakarta sebanyak 3.599.906 dan Partai Demokrat unggul dengan 33,58 persen, disusul Partai Keadilan Sejahtera atau PKS (17,23 persen), PDI Perjuangan (10,74 persen), Partai Golkar (6,47 persen),dan Gerindra (5,16 persen).
Sedangkan pada pileg 2004, PKS tampil sebagai pemenang, disusul Partai Demokrat. Kemenangan PKS di Jakarta pada 2004 ini menarik untuk dikaji, mengingat PKS adalah kelanjutan dari Partai Keadilan, yang dalam pemilu 1999 belum mendapatkan suara signifikan.
Hal-hal ini menunjukkan, masyarakat Jakarta memang dinamis, sekaligus cair dan kurang ideologis. Meskipun pernah menjadi pemenang dalam pileg 2004, ternyata kandidat gubernur yang didukung PKS gagal jadi pemenang. Ketika Jokowi maju dalam pilkada DKI Jakarta, PKS dan berbagai partai besar yang mendukung pesaingnya, Fauzi Bowo, gagal mencegah kemenangan Jokowi.
Ibukota Jakarta sering digambarkan sebagai kota yang “keras,” sehingga pendekatan kepemimpinan yang dipandang tepat di Jakarta adalah tegas, keras, tanpa basi-basi, to the point, dan “no nonsense approach.” Salah satu model kepemimpinan yang dianggap sukses dalam memimpin DKI Jakarta, adalah gaya kepemimpinan Ali Sadikin (Bang Ali) yang lugas, tegas, tapi juga manusiawi. “Manusiawi” dalam arti mampu mengangkat sisi batin warga Betawi, yang semakin terpinggirkan oleh derap pembangunan fisik yang pesat di wilayah DKI Jakarta.
Pemanfaatan Pajak Judi
Dalam beberapa aspek, Ali Sadikin yang pragmatis juga berani bersikap kontroversial dalam isu yang sensitif. Gagasan Ali Sadikin yang sempat ditentang kaum ulama adalah pemanfaatan pajak dari judi, yang dilegalisasi di daerah tertentu, untuk membangun sarana fisik dan jalan raya di Jakarta.
Ali Sadikin berpikir praktis. Daripada judi dilarang, yang berakibat orang akan bermain judi luar negeri yang membuat devisa lari ke luar negeri, lebih baik judi dilegalisasi secara terbatas, agar uang itu masuk ke kas Pemda DKI dan bisa dimanfaatkan untuk membangun fasilitas umum. Kepada mereka yang terus memprotes gagasan itu, Ali Sadikin mengatakan, “ Suruh mereka jangan menggunakan jalan raya di DKI Jakarta, karena jalan itu dibangun dengan uang judi!”
Ali Sadikin juga pernah dikritik sebagai “tidak manusiawi,” ketika giat melakukan penggusuran paksa untuk menertibkan dan melebarkan jalan raya di DKI Jakarta. Namun, langkah-langkah Ali Sadikin yang keras dan tegas itu terbukti kemudian malah dipuji sebagai tindakan yang tepat. Terbayang, entah bagaimana semrawutnya kota metropolitan ini, jika Ali Sadikin waktu itu takut melakukan penggusuran karena khawatir tidak populer.
Ahok tampaknya menerapkan gaya kepemimpinan yang mirip Bang Ali. Namun, Ahok memiliki “trade mark” tersendiri yang membedakan dengan Bang Ali. Dalam pengekspresiannya dan cara bertuturnya, Ahok lebih kasar. Keras dan tegas sebetulnya tidak harus identik dengan kasar. Seorang pemimpin bisa kuat, keras, dan tegas, meski dalam cara bertutur tetap lembut. Presiden Soeharto adalah tipe pemimpin yang kuat, tetapi publik tidak pernah melihat Pak Harto memaki-maki bawahan atau marah-marah dengan kasar. Tetapi, efek tindakan Pak Harto terasa dan sangat berpengaruh.
“Jiwa” Warga Betawi
Hal lain adalah soal “jiwa.” Menurut sejarawan Betawi, JJ Rizal, Bang Ali menyadari bahwa membangun Jakarta bukan cuma membangun fasilitas fisiknya. Esensi pembangunan Jakarta bukan sekadar munculnya gedung-gedung pencakar langit yang megah, atau berbagai jalan tol yang mulus. Namun, bagaimana membangun “jiwa” penghuninya, khususnya “jiwa” warga Betawi.
Penyematan sebutan “Bang” pada Ali Sadikin adalah pertama kalinya diberikan dari bawah oleh warga Betawi, yang awalnya merasa terpinggirkan oleh pembangunan fisik di ibukota. Awalnya mereka tinggal di tengah kota, tetapi makin lama makin terpinggirkan. Ali Sadikin adalah gubernur yang mengangkat harkat mereka sebagai warta Betawi.
Dalam proses mengangkat martabat warga itu, Ali Sadikin bahkan pernah meminta diadakan seminar oleh Universitas Indonesia, untuk merumuskan apa arti “Betawi” dan siapa sebenarnya yang disebut sebagai “orang Betawi” itu. Hal ini dilakukan agar Jakarta itu punya ciri kultural, punya “jiwa,” yang dirasakan dan dihayati oleh warga penghuninya. Hal-hal semacam ini oleh JJ Rizal dan seniman Betawi, Mandra –dalam diskusi yang diadakan Aktual Forum– tidak terlihat di DKI Jakarta di bawah pemerintahan Ahok.
Pencitraan lain adalah soal isu keislaman. Ahok mencitrakan diri sebagai “saya non-Muslim, tetapi saya lebih bersih dari para tokoh atau bakal calon gubernur lain yang Muslim.” Di media sosial juga beredar ungkapan populer yang menyatakan: “Lebih baik memilih pemimpin kafir yang bersih, ketimbang pemimpin Muslim yang korup.” Wacana ini muncul sebagai counter dari wacana “haram hukumnya bagi warga Muslim untuk memilih pemimpin yang kafir.”
Ahok mencoba mengatasi ”titik lemah” ini dengan sejumlah langkah simbolis. Misalnya, dengan membangun masjid di lingkungan kantor Pemda DKI Jakarta (yang diklaim, tidak pernah dilakukan di era Fauzi Bowo). Juga, memberangkatkan umroh sejumlah pegawai DKI Jakarta, dan menaikkan gaji warga Muslim yang jadi penjaga kuburan. Dalam audiensi di kalangan tokoh Muslim, Ahok secara terbuka mengatakan, ia pada dasarnya sudah sangat menghayati ajaran Islam, dan yang kurang dari dirinya hanyalah “hidayah” (untuk masuk Islam).
Bahkan Ahok tak segan-segan “mengeritik” ritual Kristen, agamanya sendiri. “Enak ya, tinggal nyanyi-nyanyi di gereja, terus bisa masuk surga!” katanya. Ajaran Islam –dalam perspektif Ahok– lebih logis, karena harus banyak beramal agar bisa masuk surga. Namun, dengan mengatakan ini bukan lantas Ahok sudah mendapat “hidayah.” Ahok pada dasarnya adalah tetap seorang player, seorang politisi!
Artikel ini ditulis oleh: