Berbagai proyek pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan pertambangan, tentulah mendatangkan pemasukan keuangan yang lumayan untuk pemerintah daerah setempat. Namun, selain keuntungan yang diraih, setiap proyek juga punya dampak sampingan, terutama pada kehidupan rakyat yang tinggal di sekitar lokasi proyek.
Sepatutnya rakyat sekitar lokasi proyek harus meningkat taraf kehidupan dan kesejahteraannya. Namun, tak jarang terjadi, rakyat sekitar tidak ikut menikmati keuntungan dan tidak mendapat manfaat apa pun dari proyek tersebut. Lebih gawat lagi, mereka justru tertimpa banyak masalah dan dampak negatif akibat keberadaan proyek pertambangan itu.
Inilah yang terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Selatan (Kalsel). Hasil investigasi Greenpeace, yang disampaikan ke media pada 30 Maret 2016, mengungkap aktivitas pertambangan batubara yang dilakukan oleh Banpu, sebuah perusahaan Thailand. Aktivitas perusahaan ini berdampak buruk terhadap perubahan bentang alam, hancurnya lahan pertanian produktif, dan menyisakan lubang-lubang tambang raksasa.
Dalam laporan itu terungkap temuan lapangan dari dua lokasi investigasi di Kaltim, dan satu lokasi di Kalsel. Banpu di Indonesia memiliki saham 65% pada PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITM), yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. ITM mengontrol sejumlah perusahaan di Kalimantan, di antaranya PT Kitadin, PT Indominco Mandiri, dan PT Jorong Barutama Greston. Pada 2014, ITM memproduksi 29,1 juta ton batubara, untuk dijual secara lokal di Indonesia maupun diekspor ke negara-negara lain, khususnya Thailand.
Saat ini Banpu sedang merencanakan ekspansi PLTU batubara besar-besaran di wilayah Asia Tenggara, dan hal ini tentu saja akan membuat Banpu menggali batubara lebih banyak lagi di tanah Indonesia. Tahun 2016 mereka berusaha meningkatkan sumber pendanaan mereka melalui penawaran saham perdana/IPO di Bursa Efek Thailand, yang telah didaftarkan di akhir tahun 2015.
“Salah satu studi kasus yang diamati oleh Greenpeace adalah masyarakat di Desa Kerta Buana, yang terpapar dampak negatif akibat praktik tambang batubara oleh PT. Kitadin,” kata Bondan Andriyanu, Jurukampanye Batubara Greenpeace Indonesia. “Kini, 50 persen dari seluruh lahan pertanian Desa Kerta Buana atau sekitar 796 hektar sudah berubah menjadi konsesi tambang, selain meninggalkan bekas lubang tambang, masyarakat juga mengeluhkan banjir dan kekeringan di wilayah mereka,” tambahnya.
Jika pada musim hujan terjadi banjir, sebaliknya pada musim kemarau warga terpaksa tidak bisa menanam padi di sawahnya karena tidak ada lagi air di saluran irigasi. Air yang seharusnya mengairi irigasi, terjebak di lubang-lubang bekas tambang PT. Kitadin dan membentuk danau buatan. Hal ini menyebabkan panen padi warga menjadi tidak menentu, dari yang awalnya bisa menanam dua kali setahun dengan hasil kurang lebih 10 ton sekarang hanya sekali setahun dengan hasil hanya empat ton.
Studi kasus lainnya adalah praktik tambang batubara oleh PT. Indominco Mandiri, yang berencana melakukan penimbunan Sungai Santan, di Kalsel. Semenjak beroperasinya PT. Indominco Mandiri di daerah hulu sungai Santan, warga merasakan kualitas air sungai semakin menurun yang memberi dampak langsung bagi kehidupan masyarakat lokal.
Penurunan kualitas sungai yang ditandai dengan perubahan warna air sungai, diikuti juga dengan matinya ikan-ikan yang selama ini menjadi sumber penghidupan ekonomi masyarakat setempat. Selain itu masyarakat juga kerap merasakan gatal-gatal saat mandi menggunakan air Sungai Santan. Warga mulai berhenti mengonsumsi air dari Sungai Santan terutama untuk minum dan memasak.
“Terlalu banyak kerugian yang dirasakan oleh masyarakat sekitar, Banpu seharusnya tidak lagi melakukan ekspansi bisnis batubaranya di Indonesia. Pemerintah Indonesia seharusnya juga melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas untuk melindungi rakyatnya. Ini salah satu contoh buruk hadirnya investasi asing yang merugikan bangsa kita, masih banyak lagi keterlibatan investor asing di industri batubara Indonesia yang justru merugikan kita,” tutur Bondan.
Berdasarkan laporan Greenpeace Indonesia itu dapat disimpulkan, eksplorasi tambang batubara Grup Banpu di Kalimantan, telah meninggalkan penderitaan panjang bagi masyarakat lokal.
Konsesinya di Kaltim hingga saat ini, telah mengubah bentang alam dari hutan dan lahan pangan menjadi danau-danau bekas tambang yang terbengkalai dan tanah gersang, dimana masyarakat mengeluhkan kelangkaan air. Sedangkan pada konsesi di Kalsel, selain menghancurkan bentang alam, tambang batubara Banpu juga meracuni air.
Hasil dari investigasi Greenpeace di Kaltim dan Kalsel mengungkap, aktivitas pertambangan batubara tersebut memiliki dampak buruk dalam jangka pendek maupun panjang. Selain berdampak pada bentang alam, tambang batubara juga berdampak terhadap limpasan air (run-off) sehingga menyebabkan krisis air bagi warga yang tinggal di sekitar tambang batubara.
Kasus-kasus di atas menunjukkan, proyek pertambangban yang diselenggarakan tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan dampak sosial, pada dasarnya adalah sebuah tindak kekerasan struktural terhadap rakyat. Inilah ironi “pembangunan,” yang hanya menguntungkan segelintir orang atau elite politik/ekonomi, namun menyengsarakan banyak rakyat kecil. ***
Artikel ini ditulis oleh: