Jakarta, Aktual.com — Komitmen bela negara sangat dituntut ketika negara saat ini menghadapi banyak ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, dengan segala macam krisis yang ditimbulkannya. Hal ini sejalan dengan imperatif konstitusi kita. Menurut pasal 30 (1) Undang-Undang Dasar 1945, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.”
Meski demikian, usaha bela negara tidaklah identik dengan wajib (latihan) militer. Pengertian bela negara yang lebih luas daripada wajib militer itu makin terasa relevansinya dalam era peperangan non-konvensional, yang kerap disebut sebagai “proxy war”.
Dalam peperangan generasi terakhir ini, ancaman nyata atas ketahanan nasional tidaklah berasal dari serangan bersenjata, melainkan berupa serangan ideologis dan “kekuatan lunak” lainnya dengan menggunakan “pemain pengganti” untuk mempengaruhi pusat-pusat pengambilan keputusan (the center of gravity) dan para pemuka pendapat (critical mass), yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan “pemain-pemain” kuat (major powers).
Dalam peperangan non-konventional ini, sumber ancaman yang memiliki kapasitas untuk merongrong ketananan nasional dan keselamatan warga bukan hanya berasal dari kekuatan aktor-aktor negara, melainkan juga non-negara (korporatokrasi).
Bela Negara dalam Konteks Keamanan Insani
Perkembangan ini juga memaksa kita untuk meninjau ulang pemahaman tentang keamanan (security). Dengan berakhirnya perang dingin, bersamaan dengan meluasnya pengaruh globalisasi peran aktor-aktor non-negara, pengertian tradisional tentang keamanan yang berfokus pada keseimbangan dan kapabilitas militer mulai bergeser menuju konsep baru yang mencakup ‘keamanan dari berbagai ancaman kronis yang ditimbulkan oleh hal-hal seperti kelaparan, penyakit, dan represi’ dan juga ‘proteksi dari gangguan seketika dan menyakitkan dalam pola hidup sehari-hari. Maka muncullah istilah “Human security” (keamanan insani) yang secara luas dapat didefinisikan sebagai “proteksi individual dari pelbagai risiko terhadap keselamatan fisik dan psikologis, martabat dan kesejahteraan”.
Konsepsi keamanan insani mentransformasikan persoalan “security’ dari pengertian tradisionalnya yang berfokus pada keselamatan negara dari ancaman militer menuju perhatian pada keselamatan orang dan komunitas. Meski hal ini tidaklah berarti mengabaikan keamanan negara. Keamanan insani menjanjikan fokus pada individual dan masyarakat, tetapi lebih dari itu juga pada nilai (values) dan tujuan (goals) seperti martabat (dignity), kesederajatan (equity), dan kerukunan (solidairty). Human security meliputi keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan personal, keamanan komunitas, dan keamanan politik.”
Dengan pergeseran-pergeseran tersebut, terbentanglah di hadapan kita medan bela negara yang amat luas. Setiap warga bila mengambil peran yang berbeda dalam usaha bela negara sesuai dengan potensi, tugas dan fungsinya. Yang diperlukan di sini adalah kemampuan untuk mensinergikan peran-peran individual tersebut ke dalam kesatuan kepentingan dan ketahanan nasional dengan cara memperkuat “kecerdasaan kewargaan” (civic intelligence).
Bela Negara Melalui Kecerdasan Kewargaan
Banyak orang menawarkan jalan keluar dengan visi yang kabur. Krisis multidimensional yang melanda bangsa dicoba dicari akarnya pada persoalan jatidiri. Namun, konseptualisasi jatidiri itu sendiri tidak didefinisikan secara jelas. Akibatnya, obat yang diberikan tidak berdasarkan diagnosa penyakit yang cermat.
Setelah ukuran-ukuran kecerdasan diri berbasis Intelligent Quotient (IQ) dianggap tak memadai untuk menjawab krisis kedirian, program pendidikan dan pelatihan kepribadian berpaling pada pengembangan jenis-jenis kecerdasan lain, terutama yang berbasis Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ).
Usaha menyelesaikan persoalan jatidiri dengan ukuran-ukuran tersebut memang patut diapresiasi. Persoalannya, apakah faktor-faktor IQ, EQ dan SQ itu sudah tepat menyasar sisi terlemah dari kedirian bangsa ini?
Untuk memberikan kerangka penilaian, kita harus ingat bahwa diri manusia terdiri dari dua bagian: kedirian yang bersifat privat (private self)—kedirian yang bersifat personal dan khas, dan kedirian yang bersifat publik (public-self)—kedirian yang melibatkan relasi sosial. Keduanya bisa dibedakan, namun tak bisa dipisahkan.
Dengan kerangka itu kita bisa melihat bahwa problem kedirian manusia Indonesia pada dasarnya tidaklah bersumber dari kecerdasan diri yang bersifat privat. Secara IQ, manusia Indonesia bukanlah kategori kelompok manusia dengan defisit kepintaran. Tandanya bisa dilihat dari berbagai ajang olimpiade internasional di bidang matematika, fisika dan kimia. Anak-anak Indonesia bukan saja bisa bersaing dengan utusan negara-negara terpandang seperti Amerika Serikat, Jepang dan China, bahkan berungkali berhasil merebut predikat juara umum.
Manusia Indonesia juga secara umum relatif memiliki kematangan emosional. Berbagai tradisi budaya Indonesia sudah teruji dalam kesanggupannya menanamkan ketahankan emosional seperti kemampuan pengendalian diri untuk tidak berlebihan (ngono yo ngono ning ojo ngono), menjujung tinggi yang positif, memendalam yang negatif (mikul dhuwur, mendem jero), serta ketahanan dalam menghadapi kesulitan.
Kecerdasan spiritual manusia Indonesia juga relatif kuat. Manusia Indonesia pada umumnya bersifat “religius”. Dalam ukuran yang paling kasat mata, kita bisa melihat bagaimana rumah-rumah ibadah dan partisipasi ibadah yang makin meningkat, pertumbuhan calon haji dan umrah yang makin melambung, serta mejamurnya majelis-majelis zikir, penghayat tarekat, yoga, dan berbagai ajaran spiritualitas lainnya.
Sisi terlemah dari manusia Indonesia justru mencolok pada aspek kedirian yang bersifat publik. Hal ini dengan mudah dilihat, bagaimana orang-orang dengan latar pribadi yang baik dengan mudah hanyut dalam arus keburukan begitu terjun ke dalam politik. Kita juga bisa menyaksikan, hampir semua hal yang bersifat kolektif mengalami dekadensi: partai politik sakit, lembaga perwakilan sakit, birokrasi sakit, aparatur penegak hukum dan kemamanan-pertahanan sakit, bahkan organisasi-organisasi keagamaan yang bersekala besar pun mulai menunjukkan gejala sakit.
Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelalaian dunia pendidikan dan pembudayaan dalam mengembangkan “kecerdasan kewargaan” (Civic Intelligence Quotient). Pendidikan terlalu menekankan kecerdasan personal, dengan mengambaikan usaha mempertautkan keragaman kecerdasan personal itu ke dalam kecerdasan kolektif-kewargaan. Masing-masing individu dibiarkan menjadi deret “huruf” alfabet, tanpa disusun secara kesatuan dalam perbedaan (bhinneka tunggal ika) ke dalam “kata” dan “kalimat” bersama. Akibatnya, banyak manusia yang baik dan cerdas tidak menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar akan kewajiban dan haknya).
Padahal, bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk, dengan pecahan yang banyak jumlahnya, tidak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebaikan bersama kalau tidak menemukan bilangan penyebut yang sama (common denominator), sebagai ekspresi identitas dan kehendak bersama. Oleh karena itu, pendidikan “kecerdasan kewargaan” berlandaskan Pancasila merupakan jurus pamungkas yang paling dibutuhkan.
Pengembangan “kecerdasan kewargaan” lebih fundamental bagi suatu bangsa yang ingin membebaskan diri dari kolonisasi individualisme yang mendorong kapitalisme dan kolonialisme. Postulat dasar dari individualisme meyakini bahwa relasi sosial bukanlah pembentuk perseorangan dalam pengalamannya yang paling fundamental. Relasi sosial memang sesuatu yang terjadi pada individu namun tidak dipandang sebagai sesuatu yang mendefinisikan identitas dan mengkoordinasikan eksistensi individu. Ungkapan yang sangat terkenal dari individualisme menyatakan: “Kamu datang ke dunia seorang diri, dan meninggalkan dunia seorang diri.” Meski kenyataannya tidak ada seorang pun yang lahir ke dunia secara sendirian. Selalu ada ibu dan budaya komunitas yang menyertainya, bahkan mengantarnya hingga ke “tempat peristirahatan yang terakhir”.
Berbeda dengan individualisme, Pancasila memandang, bahwa dengan segala kemuliaan eksistensi dan hak asasinya, setiap pribadi manusia tidaklah bisa berdiri sendiri terkucil dari keberadaan yang lain. Setiap pribadi membentuk dan dibentuk oleh jaringan relasi sosial. Semua manusia, kecuali mereka yang hidup di bawah keadaan yang sangat luar biasa, tergantung pada bentuk-bentuk kerjasama dan kolaborasi dengan sesama yang memungkinkan manusia dapat mengembangkan potensi kemanusiaannya dan dalam mengamankan kondisi-kondisi material dasar untuk melanjutkan kehidupan dan keturunannya .
Kebajikan individu hanya mencapai pertumbuhannya yang optimum dalam kolektivitas yang baik. Oleh karena itu, pengembangan jatidiri bukan saja harus memberi wahana kepada setiap individu untuk mengenali siapa dirinya sebagai “perwujudan khusus” (“diferensiasi”) dari alam. Pengembangan jatidiri juga harus memberi wahana setiap orang untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem prilaku bersama yang terkristalisasi dalam Pancasila. Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem prilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter perseorangan berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Maka dari itu, pengembangan “kecerdasan kewargaan” berbasis Pancasila merupakan kunci integrasi dan kemajuan bangsa. Namun, justru pada titik itulah simpul terlemah dari proses pendidikan dan pembangunan selama ini.
Kecerdasan kewargaan bisa dibangun dengan pendalaman dan perluasan wawasan kebangsaan dengan pandangan hidup Pancasila yang dikembangkan dengan semangat gotong-royong. Dalam realitas kehidupan bangsa saat ini, praktik gotong-royong masih berjalan, namun acapkali dalam konotasi toleransi negatif, “tolong-menolong dalam kejahatan dan pengrusakan”. Gerakan revolusi mental harus menempatkan gotong-royong itu dalam konteks toleransi positif, “tolong-menolong dalam kebaikan dan pembangunan”. Semangat toleransi yang memadukan kemandirian dan kerjasama dalam menunaikan pelayanan publik dan kemanusiaan dengan penuh tanggung jawab dan bermutu sebagai wujud bela negara.
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual