Jakarta, Aktual.com – Dewan Energi Nasional (DEN) menilai rencana akuisisi PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk (Persero) oleh PT Pertamina (Persero) yang dibungkus holding energi, bukanlah sesuatu yang mendesak dan tidak jelas manfaatnya buat negara dan rakyat Indonesia.
Menurutnya, bila tujuan pencaplokan tersebut hanya sekedar memperkuat permodalan PT Pertamina, maka kebijakan itu tidak tepat. Dia mensinyalir setelah PGN dicaplok oleh Pertamina malah kondisi perusahaan itu menjadi bobrok dan tidak berkembang.
“Ya kita lihat Pertamina selama ini sudah cukup diberikan keleluasaan, untuk apa mencaplok PGN. PGN sekarang secara perusahaan sudah baik, nanti setelah dicaplok Pertamina apakah ada jaminan PGN lebih sehat?” ujar Anggota DEN, Tumiran dalam keterangan tertulis, Senin (11/7).
Tumiran mengatakan, justru yang sangat mendesak saat ini adalah perbaikan tata kelola minyak dan gas, bukan pembentukan holding energi.
“Tata kelolanya dulu diperbaiki pemerintah. Alokasi gas selama ini banyak masuk ke trader. PGN malah dipaksa beli gas lewat trader, padahal lebih efisien beli langsung ke perusahaan hulu migasnya. Itu berarti ada yang salah dengan regulasi kita, ini yang harus pertama kali diperbaiki bukan memasukkan PGN ke Pertamina dengan bungkus holding,” ungkapnya.
Ia mengakui, antara PGN dan Pertamina di bisnis gas hilir sering terjadi tumpang tindih proyek pembangunan infrastruktur gas.
“Ini tugasnya pemerintah, tinggal dibagi saja perannya. Pertamina fokus di eksplorasi dan penyediaan sumber-sumber gas, nanti PGN tugasnya tinggal menyalurkan gasnya ke masyarakat,” ungkapnya lagi.
Tumiran menegaskan, daripada PGN dimasukkan ke Pertamina yang justru tidak menyelesaikan masalah, lebih baik pemerintah memperkuat masing masing BUMN yaitu PGN dan Pertamina tersebut.
Saat ini di Indonesia belum ada perusahaan dari negara lain yang investasi di bidang hilir gas bumi. Sehingga kesempatan pemerintah untuk makin memperkuat BUMN gas agar semakin memberikan manfaat gas bumi yang bersih dan hemat ke masyarakat.
“Dorong PGN terus mengembangkan bisnis pipa gasnya, bangun pipa sebanyak-banyaknya. Pertamina punya Pertagas juga diperkuat saja, kalau nggak Pertagas malah bisa dimasukkan saja ke PGN. Nah Pertamina sendiri fokus ke industri hulu migas,” tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Analis Efek Indonesia, Haryajid Ramelan mengatakan, rencana akuisisi PGN oleh Pertamina dikhawatirkan akan mengganggu pengembangan infrastruktur gas bumi di Indonesia yang selama ini dilakukan oleh PGN.
“Dengan adanya akuisisi ini, saya khawatirnya kok nantinya PGN akan tidak leluasa mengembangkan bisnis,” kata dia.
Kekhawatiran tersebut karena bila PGN menjadi anak usaha Pertamina yang dibalut dengan bungkus “holding energi” ini resmi terbentuk nanti, maka akan ada perubahan proses bisnis di PGN, terutama dalam hal pengambilan keputusan terkait penentuan langkah strategis pengembangan usaha.
“Kan waktu masih sendiri, untuk mengambil langkah bisnis PGN cukup bahas sendiri di internalnya. Nah dengan adanya akuisisi ini, PGN harus mendapat persetujuan dari Pertamina yang induk usahanya. Jadi proses pengambilan keputusannya lebih lama,” tutur dia.
Dampak negatif lainnya dari akuisisi PGN oleh Pertamina menurut Haryajid yakni dalam hal pengembangan infrastuktur gas bumi adalah dalam hal kemudahan mendapatkan pembiayaannya. Dengan status PGN sebagai BUMN, ketika mendapatkan pinjaman dari bank untuk membangun infrastruktur gas bumi, PGN mendapatkan perlakuan khusus yakni tidak perlu memberikan jaminan kebendaan (Clean Basis) dalam perjanjian kredit. Dengan jadi anak usaha Pertamina dan statusnya sebagai BUMN dihapus, maka PGN harus menyediakan jaminan kebendaan (aset).
Kondisi keuangan PGN yang selama ini lumayan bagus juga menjadi perhatian Haryajid. Dari laporan keuangannya, perusahaan gas pelat merah ini mampu membukukan laba bersih sebesar USD 401,2 juta di tahun 2015. Perolehan tersebut setara 13 persen dari pendapatan usaha yang sebesar USD 3,07 miliar.
Kinerja terbalik justru ditunjukkan oleh PT Pertamina. Meski membukukan pendapatan usaha yang luar biasa besar mencapai USD 41,76 miliar, namun perolehan laba bersihnya hanya tercatat sebesar USD 1,42 miliar. Artinya, laba yang dicatatkan Pertamina hanya setara 3,4 persen dari pendapatannya. Ini jauh dibanding kecil dibanding bunga deposito perbankan saat ini yang berada di kisaran 6 persen.
(Dadang Sah)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan