Syaikh Prof. Dr. Sa’id Ramadhan Ibnu Mula al-Buthi
Syaikh Prof. Dr. Sa’id Ramadhan Ibnu Mula al-Buthi

Jakarta, Aktual.com – Nama Syaikh Prof DR Sa’id Ramadhan al Buthi jadi perbincangan hampir di banyak kalangan setelah beliau wafat diserang bom bunuh diri tepat saat mengisi Ta’lim di Masjid Jami’ Al Iman di Kota Damaskus, Suriah, ba`da Maghrib Kamis, 21 Maret 2013.

Betapa tidak. Syaikh Sa’id Ramadhan yang sangat dihormati dan disegani sebagai salah satu ulama sunni di Suriah bahkan dunia ini dianggap ‘melindungi’ Presiden Bashar Assad yang dianggap otoriter dan ‘fasis’ oleh banyak ulama di sana saat itu.

Akibatnya, Syaikh Ramadhan yang kerap dijuluki “Al-Ghazali as-Shaghir” (Imam Al-Ghazali kecil) ini mendapat kecaman dari banyak kalangan soal pilihan dan ijtihad politiknya yang sangat berseberangan ini.

Mengapa Syaikh Sa’id Ramadhan membuat ijtihad politik untuk tetap ‘membela’ Presiden Bashar Assad?

Memang keluasan dan kedalaman pemaknaan atas apa yang terjadi di Suriah -yang tidak banyak dipahami oleh sebagian ulama dan penduduk Suriah- membuat keputusan politiknya untuk tetap ‘dibelakang’ Bashar Assad tidak banyak diketahui dan dipahami.

Dengan memadukan ketajaman rasa dan kemampuan analisis ilmiahnya atas apa yang terjadi di negara yang sangat dicintainya itu, dia menyimpulkan telah terjadi sebuah proses propaganda dan fitnah yang sangat masiv yang bisa membuat perang saudara di negeri yang dicintainya. Terutama gesekan antara Sunni dan Syiah; Sunni dan Salafi; pro Bashar dan anti Bashar; bahkan gesekan antarulama Sunni sendiri.

Perlu diketahui bahwa dasar ijtihad politiknya diletakkan pada apa yang terjadi di beberapa negara Arab saat itu. Gejolak politik “Arab Spring” telah mengubah hampir sebagian wajah negara-negara di Timur Tengah. Ide besar “Arab Spring” (yang dibungkus dengan mantra demokratisasi itu) telah membunuh ratusan ribu, bahkan jutaan orang Arab. Demonstrasi, pemberontakan, perang antarumat islam, kudeta, rentetan senjata dan jatuhnya bom yang katanya demi terwujudnya demokratisasi justru jatuh pada penguasaan aset dan SDA oleh negara-negara tertentu.

Ide besar demokratisasi “Arab Spring” juga terjadi di Suriah. Puluhan ribu orang sudah meninggal sia-sia di sana. Sebagian besar mengungsi ke negara lain. Sesama umat Islam saling bunuh hanya untuk mengganti rezim otoriter Bashar yang kukuh tidak ingin digantikan oleh kelompok anti Bashar yang didukung langsung oleh beberapa negara yang dimotori (dan didanai) oleh Amerika Serikat.

Gesekan Sunni versus Syiah di Suriah adalah yang terparah. Maklum, rezim Bashar Assad sangat didominasi oleh Syiah. Sedangkan mayoritas penduduk Suriah (hampir 75 persen) adalah Sunni. Apalagi, sebagian ulama Sunni di sana sudah mulai ikut tergeret bermain politik.

Itu yang terjadi ketika demam “Arab Spring” mulai mencium Negeri Syam itu. Tentu saja ketika Syaikh Sa’id yang sangat lemah lembut itu mengumumkan ijtihad politiknya untuk tetap dibelakang Bashar Assad maka saat itu juga banyak ulama dan masyarakat mengecamnya. Syaikh Sai’id dikecam anti demokrasi, pro Syiah dan pro rezim otoriter.

Syaikh Said yang sangat produktif menulis buku ini sebenarnya sering menjelaskan bahwa dalang dibalik propaganda dan fitnah yang sangat masiv yang terjadi di Suriah saat itu adalah Israel dan Amerika Serikat. Kedua negara (dibantu dengan beberapa negara lain secara langsung dan tidak langsung) itu mendanai pemberontak termasuk ISIS dan Al Qaeda agar Suriah terjadi perang saudara.

Ketika negara hancur, maka Israel dan Amerika Serikatlah yang akan mengatur negaranya lewat pemimpin ‘boneka’ yang kelak mengganti Bashar. Bukan demokrasi yang akan terjadi. Namun penjajahan bentuk baru seperti yang terjadi di beberapa negara Arab lain yang sudah hancur. Sebut saja Irak atau Libya misalnya. Namun penjelasannya tidak begitu dipahami. Yang mereka tahu, Bashar Assad yang otoriter dan fasis itu harus jatuh.

Sebagai pucuk pimpinan perkumpulan ulama Syam (Ra’is Rabithatu Ulama’ as-Syam) saat itu, keputusan dan ucapan beliau sangat berpengaruh untuk sedikit meredam gejolak yang terjadi. Dan, mungkin, ini yang membuat skenario Israel dan AS di Suriah agak terganjal di Suriah. Sangat mungkin, meskipun spekulatif, bahwa tewasnya Syaikh Sa’id sangat berhubungan dengan perannya untuk tetap menjaga agar pertumpahan darah antarumat Islam di Suriah tidak meluas.

Setidaknya ada beberapa pengamat dan ulama yang memahami kedalaman makna itikad dan ijtihad politik Syaikh Sa’id ini. Bahwa keberpihakannya ke Bashar jangan diartikan hanya sebatas pro Bashar Assad. Syaikh Sai’id tak sepicik itu. Jauh dibalik itu, Syaikh Sa’id ingin menyelamatkan Islam, dan negeri Syam (Suriah) dari cengkraman kelompok zionis yang menggunakan Amerika Serikat dan Israel sebagai alat. Mantan mufti Mesir, Syaikh Ali Jum’ah, bahkan menyatakan Syaikh Sa’id al-Buthi sebagai syahid karena sikap dan ijtihadnya.

Rasa cintanya terhadap umat, penduduk dan pertumpahan darah di negaranya membuat Syaikh Sa’id meneteskan air mata ketika dia memohon doa ke hadirat Alloh SWT di atas mimbar itu, sebelum bom itu membunuhnya…

******

Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi adalah keturunan Kurdi. Beliau lahir di Buthan (Turki) pada tahun 1929 M/ 1347 H. Ayah beliau adalah Syaikh Mula Ramadhan al-Buthi, seorang ulama besar di Turki, ahli thariqah an-Naqsyabandiyah.

Beliau adalah ulama yang sangat produktif menulis buku. Beberapa karya monumentalnya adalah Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, Kubra al-Yaqiniyyah al-Kauniyyat, Al-Mar’ah Baina Thughyan an-Nidham al-Gharbi wa Laa Thaif at-Tasyri’ al-Islami. Dan kitab terbaru yang lahir dari pemikiran beliau di antaranya Yughalithunaka (mengupas/menentang pemikiran Barat), dan Min Sunanillah Fi ‘Ibaadihi yang membahas tentang perkara-perkara yang sudah jadi kebiasaan Allah di dunia.

(Faizal Rizki Arief)