Jakarta, Aktual.com– Sudah terlalu sering. Bahkan, mungkin ada yang sudah bosan. Dan lelah bicara soal relasi IMF, utang luar negeri dan kedaulatan ekonomi-politik sebuah negara.
Masih banyak juga yang mengatakan (bahkan berpendapat) bahwa peran IMF ayau World Bank untuk ‘menjajah’ kedaulatan sebuah negara bangsa hanyalah sebuah teori konspirasi. Othak-athik gathuk, begitu kata orang Jawa.
Buktinya. Faktanya. Toh, IMF ngga pernah bisa dijadikan ‘tersangka’. Apalagi ‘dibui’ atau dibubarkan organisasinya karena dianggap organisasi kotor tempat segelintir vested yang menggunakan untuk kepanjangan tangan kepentingan kotornya.
Harus diakui bahwa sangat sedikit sumbangan literatur dan riset yang cukup komprehensif untuk mengulas sejarah peran IMF sejak didirikan sampai sekarang. Jadi layak kalau ada yang mengatakan banyak hal dan analisis soal IMF berbau konspirasi.
Namun beberapa saat lalu, seorang jurnalis dan penulis dari Jerman, Ernst Wolff mulai mengisi kekosongan itu. Dia menerbitkan riset panjangnya soal sejarah IMF yang cukup komprehensif dalam sebuah buku yang berjudul “Pillaging the World: The History and Politics of the IMF”.
Dalam buku yang layak baca ini, Wolff mampu menjawab pertanyaan penting seputar peran dan sejarah IMF. Pertama, dalam konteks seperti apa IMF didirikan?; kedua, mengapa IMF didirikan dan apa peran penting IMF saat didirikan sampai sekarang?; ketiga, apa pengaruh kebijakan IMF terhadap aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya sebuah negara bangsa?
Beberapa fakta dan data yang disajikan Wolff dalam buku ini setidaknya bisa dijadikan referensi untuk melihat apa saja yang akan terjadi jika sebuah negara memutuskan untuk memilih berutang ke IMF.
Salah satu fakta penting yang ditunjukkan Wolff dalam buku ini adalah sejak tahun 1970 IMF sebenarnya telah me–set up empat pilar penting dalam konsep “Structural Adjustment Programs”, sebuah program yang melekat di hampir setiap kucuran dana utang ke sebuah negara bangsa. Empat pilar itu adalah Stabilisasi, Deregulasi, Privatisasi dan Liberalisasi.
Dalam konteks itu, tak sulit sebenarnya melihat peran IMF dalam gonjang-ganjing Indonesia tahun 1998 lalu. Lihat dan analisis saja sampai sejauh apa peran indikator empat pilar tersebut dalam memengaruhi kehancuran rezim Orde baru atau rezim Soeharto. Bahkan secara terang benderang Michael Camdessus menyatakan bahwa peran dia (IMF) di Indonesia saat itu salah satunya adalah menjatuhkan Soeharto.
Jadi begitu juga cara pandang kita untuk melihat apa yang akan dilakukan rezim Jokowi-JK pascareshuffle kemarin: sampai sejauh apa pergerakan indikator empat pilar tersebut?. Jika program (taruhan terakhir Jokowi) Tax Amnesty gagal, maka, tidak bisa tidak, rezim ini akan dipaksa lagi untuk menambah utang luar negeri. Bisa ke IMF, World bank, AIIB, NIB, ADB atau yang lainnya. Di sini peran Sri Mulyani sebagai Menkeu baru sangat penting.
Namun kalau melihat beberapa kebijakan ekonomi dan politik rezim Jokowi-JK terakhir, sangat besar dugaan bahwa rezim ini sangat kuat keinginannya untuk menambah derajat tingkat deregulasi, privatisasi dan liberalisasi dalam perekonomian saat ini.
Bahkan sangat mungkin pendekatan militer akan digunakan hanya untuk meningkatkan derajat stabilisasi agar negara ini bisa dianggap ramah investasi.
Benarkah? Mari kita lihat bersama…
Faizal Rizki Arief