Jakarta, Aktual.com – Mengkaji kembali buku lawas karya Profesor Dr Slamet Mulyana terbitan tahun 1968, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam Nusantara, saya terpikat pada satu episode yang khusus mengkaji kiprah dari Adityawarman.
Sudah banyak disinggung mengenai sosok yang satu ini ketika menyinggung atau membahas kerajaan Majapahit, namun orang sering bingung asal-usul dan siapa beliau sesungguhnya.
Kalau bahas Majapahit, jangan anggap enteng peran dari yang namanya Adityawarman. Seorang panglima perang tapi punya bakat khusus sebagai diplomat ulung. Kelak beliau ke Sumatra, mendirikan kerajaan Pagaruyung. Sekaligus tulang punggung tiga kerajaan penting di seberang laut yaitu Dharmacraya(Melayu) yang berbasis di Jambi, Palembang dan Minangkabau.
Uniknya Adityawarman, dari segi silsilah dan asal usul, punya hubungan darah dengan Raja Singosari yang tentunya juga Majapahit, baik dari jalur ayah maupun ibunya.
Menurut kajian Prof Slamet Mulyana yang cukup serius dan mendalam mengenai beberapa sumber pustaka terkait Majapahit dan era pasca keruntuhannya, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawaja, seorang maha menteri Kerajaan Singosari yang masih ada hubungan darah dengan raja, yang kemudian menikah dengan seorang putri dari Kerajaan Melayu, Dara Jingga.
Seperti kita ketahui dalam sejarah, ketika kerajaan Singosari melakukan ekspedisi ke beberapa negara di Semenanjung Melayu yang kita kenal dengan sebutan Pamalayu pada 1275, pulang dari ekspedisi pasukan Singosari membawa dua putri dari kerajaan Melayu yang berhasil ditaklukkan.
Pada 1286, Kerajaan Singosari berhasil menaklukkan Kerajaan Dharmacraya (Melayu) melalui apa yang disebut Ekspedisi Pamalayu yang dikirim Raja Kartanegara, raja terakhir Singosari, pada 1275.
Dengan merebut pelabuhan Melayu yang terletak di Sungai Batanghari yang sekarang bernama Kota Jambi. Sejak dikuasainya Dharmacraya, Singosari praktis menguasai jalur lalu-lintas pelayaran di Selat Malaka. Yang mana Selat Malaka itu menyisir pantai timur Sumatra. Sehingga praktis menguasai lada yang kala itu merupakan komoditas unggulan daerah tersebut secara geo-ekonomi. Sekaligus menguasai jalur distribusinya karena menguasa pelabuhan Melayu yang menjadi mata-rantai yang terhubung melalui Selat Malaka untuk menguasai urat nadi pulau Sumatra.
Nah ketika Singosari menaklukkan Kerajaan Dharmacraya, maka pasukan Singosari yang ditarik pulang ke Singosari, kemudian membawa dua putri kerajaan Melayu tersebut. Dara Petak dan adiknya, Dara Jingga. Keduanya putri Raja Crimat Tribuanaraja, dari kerajaan Dharmacraya.
Dara Petak, kemudian diperistri oleh Raden Wijaya, anak menantu dari Raja Kartanegara, raja terakhir Singosari. Raden Wijaya kelak menjadi raja dan pendiri Kerajaan Majapahit, menyusul tewasnya Kartanegara akibat penghianatan Raja Jayakatwang dari Kediri.
Sedangkan Dara Jingga, diperistri oleh Maha Menteri Singosari, Adwayaraja.
Perkawinan Raden Wijaya-Dara Petak, yang kemudian berganti nama jadi Ratu Indreswari, maka lahirlah Prabu Jayanegara alias Raden Kologemet. Perkawinan Maha Menteri Adwaya dengan Dara Jingga, maka lahirlah Adityawarman. Kelak dikenal sebagai panglima perang gagah berani sekaligus diplomat ulung yang berbakat kerajaan Majapahit.
Sebelum cerita beranjak lebih lanjut, perlu saya informasikan, bahwa ketika Raden Wijaya sebagai Raja pertama Majapahit wafat pada 1328, Prabu Jayanegara, putra Raden Wijaya dari perkawinannya dengan Dara Petak, menggantikan ayahnya. Pada tahun itu juga.
Sayangnya, oleh perkembangan waktu, terutama setelah Prabu Jayanegara wafat, dan digantikan oleh Tribuana Tunggadewi, putri dari Rajapatni, salah seorang putri Raja Kartanegara yang menikah dengan Raden Wijaya, Adityawarman meskipun mendapat jabatan strategis di kemiliteran dan diplomasi, namun sepertinya dengan sengaja secara bertahap dijauhkan dari lingkar dalam kekuasaan Majapahit. Sehingga Adityawarman lebih banyak berkiprah di Sumatra, meskipun semasa pemerintahan Tribuana Tunggadewi, yang menggantikan Jayanegara, masih sempat berkiprah di perpolitikan Majapahit selama 11 tahun. Yaitu antara 1328 sampai 1339.
Kalau mengkaji konstruksi fakta-fakta sejarah yang ditulis Prof Mulyana, memang sejak wafatnya Raden Wijaya, ada persaingan terselubung antaristeri Raja Raden Wijaya yang merupakan putri Raja Kartanegara seperti Rajapatni dengan Dara Petak yang putri Raja Crimat Tribuanaraja dari Kerajaan Dharmacraya (Melayu). Yang kemudian bermuara pada tewasnya Prabu Jayanegara oleh tusukan pisau dari seorang tabib istana bernama Ra Tanca.
Di sini kemudian berkembang sebuah teori, bahwa Ra Tanca membunuh Jayanegara atas arahan dari faksi politik Ibu Suri Rajapatni dan Gajah Mada, yang kelak ketika Tribuana Tunggadewi menggantikan Jayanegara, merupakan jantung dan tulang punggung masa kejayaan Majapahit, yang mencapai puncaknya di era Raja Hayam Wuruk.
Begitupun, Adityawarman baru berangkat ke Sumatra pada 1339. Berarti antara 1309, saat Jayanegara menggantikan Raden Wijaya, hingga Jayanegara menemui ajalnya pada 1328, Adityawarman masih berkiprah dan mengabdi sepenuhnya di Kerajaan Majapahit. Dan menduduki posisi penting dan strategis. Selain ada jalur darah dengan ibunya Jayanegara, Dara Petak, namun juga ada jalur darah dari kerajaan Singosari karena putra dari maha menteri Singosari Adwayawaja.
Dengan begitu, sabuk pengaman Adityawarman memang cukup kuat dan kokoh semasa kekuasaan Jayanegara. Fakta bahwa Adityawarman baru ke Sumatera pada 1339, berarti begitu Jayanegara meninggal pun, Adityawarman masih tetap bertahan di jajaran pemerintahan Kerajaan Majapahit yang berada di tangan Ratu Tribuana Tunggadewi dan Gajah Mada. Artinya, meskipun Adityawarman bukan dari trah Raden Wijaya dan putri Kartanegara, Aditwarman tetap tidak bisa disingkirkan begitu saja.
Buktinya, Adityawarman baru diberangkatkan ke Sumatra pada 1339, yaitu 11 tahun setelah mangkatnya Jayanegara, putra blasteran Jawa-Melayu ini, menjadi tulang-punggung penaklukan tiga kerajaan Melayu yaitu Dharmacraya, Palembang dan Minangkabau.
Sekadar informasi, Kerajaan Dharmacraya (Melayu) dan Palembang, merupakan kelanjutan dari kerajaan lama Melayu dan Sriwijaya. Kerajaan Melayu yang berpusat di Dharmacraya ini, ternyata berada di daerah Jambi.
Namun demikian, kalaupun keberangkatan Adityawarman ke Sumatra merupakan penyingkiran secara halus dari pusat kekuasaan Majapahit, nampaknya baru menemukan momentumnya ketika terjadi sebuah peristiwa bersejarah tiga tahun sebelum keberangkatannya ke Sumatra pada 1339, yaitu ketika Patih Amangkubumi Gajah Mada, mengumumkan Program Politiknya dengan sebutan SUMPAH NUSANTARA pada 1336. Yang pada intinya bertekad menguasai Seluruh wilayah NUsantara yaitu: Seram, Tanjungpura(Kalimatan), Haru(Sumatra Utara), Pahang(Malaya, Sekarang Malaysia), Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik(Singapura).
Bertalian dengan misi nasional Majapahit inilah, Adityawarman dikirim ke Sumatra untuk merebut kembali daerah penghasil lada di Minangkabau, yang waktu itu telah dikuasai oleh tentara Islam dari Kerajaan Aru Barumun dan dijadikan daerah satelinya Aru.
Dengan demikian, keberangkatan Adityawarman ke Sumatra memang dalam rangka misi SUMPAH NUSANTARA.
Tapi melihat latarbelakang perseteruan terselubung di lingkar dalam istana, sepertinya harus juga dibaca sebagai langkah halus dan elegan dari faksi Patih Amangkubumi Gajah Mada, yang pastinya juga direstui oleh Ratu Tunggadewi, untuk menjauhkan Adityawarman dari perpolitikan istana di pusat kekuasaan Majapahit.
Apapun, saya membaca ini sebagai indikasi kuat bahwa Adityawarman ini memang sosok yang cukup kuat dan punya potensi sebagai kekuatan politik yang bisa menandingi faksi Ibu Suri Rajapatni dan Ratu Tunggadewi.
Namun, karena karakter sejati Adityawarman sebagai ksatria, misi Sumpah Nusantara itu dia jalankan dengan sepenuh hati. Hasilnya, seperti merujuk pada Kitab Negara Kartagama, beberapa daerah strategis di Sumatra berhasil dikuasai yaitu: Jambi, Palembang, Toba, Dharmacraya, Kandis, Kahwas, Haru atau Mandailing, Perlak, Tumihang, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Panai, Lamuri, Batam, Lampung dan Barus.
Yang gagal untuk dikuasai oleh Adityawarman adalah Samudra Pasai. Di sinilah awal mula pembangkangan Adityawarman kepada Majapahit. Apa sebabnya, kurang jelas juga. Faktanya adalah, ketika Adityawarman berhasil merebut Kuntu/Kampar pada 1339, kemudian mendirikan kerajaan baru di Pagaruyung dengan julukan Crimat Udayadityawarman atau Adityawarmodaya, bergelar Maharaja Adiraja.
Sejak itu, Adityawarman tidak mau lagi tunduk kepada Raja Majapahit. Sebagai penguasa Dinasti Indera, Adityawarman memerintah sampai 1376.
Kalau kita analisis kondisi psikologi politik Adityawarman kala itu, memang bisa dipahami, meskipun terkesan Baper(Bawa Perasaan). Ketika Jayanegara tewas akibat tusukan dari Ra Tanca pada 1328, faksi politik Ibu Suri Rajapatni dan putrinya Tribuana Tunggadewi, dengan dukungan strategis Patih Amangkubumi Gajah Mada, praktis berhasil menguasai perpolitikan istana secara menyeluruh. Sedangkan faksi Dara Petak dan Dara Jingga, semakin terpinggirkan.
Bisa jadi, Adityawarman di sini perang batin. Satu sisi, beliau adalah seorang patriot, apalagi berkiprah di bidang kemiliteran dan diplomasi yang tentunya juga sangat matang sebagai pemimpin politik. Namun pada sisi lain, tersingkirnya sang Ibu, Dara Jingga dan budenya, Dara Petak, pastinya membuat diri cucu Raja Crimat Tribuanaraja ini, semakin tidak nyaman memposisikan diri.
Jadi ketika kemudian Adityawarman akhirnya dikirim ke Sumatra pada 1339, tanpa disadarinya menjadi jalan keluar dari kebuntuan politik, meskipun bisa dipandang waktu itu sebagai penyingkiran politik dari pusat kekuasaan istana.
Bisa jadi, ketika Adityawarman dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa ada sebuah kerajaan Islam di Samudra Pasai berhasil menggagalkan serangan militer Majapahit, muncul sebuah kesadaran baru bahwa sebuah kekuatan baru untuk mengimbangi kosntalasi keadaan nusantara waktu itu, bukan hal mustahil untuk tercipta. Sehingga muncullah keputusan untuk menolak tunduk pada Majapahit.
Membaca sekilas fragmen kisah fase-fase awal kejayaan Majapahit sejak dicanangkannya Sumpah Nusantara pada 1336, dan peran penting dan dedikasi Adityawarman, jangan-jangan persenyawan Jawa-Sumatra merupakan salah satu jalan takdir Geopolitik Nusantara. Karena persenyawaan Jawa-Sumatera/Melayu bukan sekadar persekutuan politik, melainkan sudah jadi persenyawaan keluarga besar Nusantara.
Boleh percaya atau tidak, seluruh perjalanan penting sejarah bangsa Indonesia, selalu mensyaratkan secara tersirat persenyawaan Jawa-Sumatra. Seperti halnya ketika tercipta Dwi Tunggal Sukarno-Hatta.
Sontak saya jadi terpikir, apa Dwi Tunggal Sukarno-Hatta sejatinya merupakan ruwatan nusantara, untuk meluruskan kembali situasi yang berkembang di era Majapahit. Yang ironisnya, ketika Sumpah Nusantara tersebut nyaris berhasil sepenuhnya kecuali Samudra Pasai dan Kerajaan Sunda Padjajaran, Adityawarman yang kala itu disebut Raja Indrawarman yang membangkang pada Majapahit, justru tumpas di tangan Gajah Mada pada 1376.
Pemberontakan Adityawarman boleh jadi memang salah karena dari sudut pandang kepentingan nasional Majapahit untuk menyatukan nusantara bisa dipandang separatis, namun sejarah nampaknya juga harus adil pada Adityawarman. Bahwa upaya peminggiran dan penyingkiran faksi-faksi politik Ibu Suri Rajapatni dan Ratu Tribuana Tunggadewi terhadap faksi Dara Petak dan Dara Jingga, secara sadar atau tidak sadar, telah mendorong Adityawarman memilih jalan politiknya sendiri.
Kemunculan Dwi Tunggal Sukarno-Hatta ketika memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustustus 1945, merupakan Ruwatan Nusantara untuk memulihkan kembali Semangat dan Tekad dari Sumpah Nusantara Patih Amangkubumi Gajah Mada pada 1336.
Hendrajit
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit