Yogyakarta, Aktual.com – Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dianggap telah mencederai sejumlah nilai yang disepakati secara tekstual dalam UUD 1945.
Hal itu disampaikan Ketua Majelis Hukum dan HAM (MHH) Muhammadiyah, Syaiful Bahri, dalam Rapat Kerja Nasional MHH Muhammadiyah di Yogyakarta, Minggu (28/8).
“Majelis Hukum dan HAM akan merekomendasikan ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah supaya melakukan Judicial Review,” tegasnya.
Keputusan ini menurutnya adalah aspirasi yang dihasilkan rakernas dan hanya menunggu waktu resmi saja kapan Judicial Review tersebut didaftarkan, sambil memperdalam kajian.
Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah bidang hukum, Busyro Muqoddas, menyatakan sudah saatnya UU Pengampunan Pajak mereka evaluasi melalui JR. Terkecuali, pemerintah berinisiatif sendiri mengevaluasi dengan segera.
“Pemerintah harus menunda, mengevaluasi dengan menyertakan evaluator yang independen, expert dan kompeten,” kata Busyro.
Dirinya memandang pelaksanaan kebijakan Pengampunan Pajak sendiri tidak mencapai target, terlebih saat ini mulai muncul sejumlah keresahan di masyarakat bawah dan bila hal ini tidak diantisipasi akan berakibat pada kegaduhan publik yang lebih besar.
‘Yang bermasalah di sektor ini kan hanya sekelompok kecil, tidak lebih dari 10% masyarakat, hanya kelas besar, bukan rakyat, tapi dampaknya malah meresahkan masyarakat luas di level ‘grass root’,” paparnya.
Adanya kebijakan Pengampunan Pajak adalah bukti gaya pemerintahan Jokowi yang top-down, dimana nalar hukum ditaruh dibawah kepentingan politik yang bersifat pragmatis.
Dirinya menambahkan, sejak awal UU ini digodok hingga sekarang, draf akademik yang harusnya jadi pertimbangan sebuah kebijakan publik tidak disampaikan secara jujur pada elemen-elemen masyarakat, terutama kampus.
“Jika draf atau studi akademik saja dibiarkan berarti presiden sudah menghina rakyat yang dulu memilihnya. Tidak ‘based on to people oriented’. Jangan-jangan ini hanya kepentingan bisnis kelompok pemodal, itu biar presiden yang jawab,” cetusnya.
*Nelson
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis