Jakarta, Aktual.com – Kita sebagai mahluk yang hidup setidaknya kita tidak mungkin lepas dari dua kemungkinan. Dua kemungkinan tersebut yakni akibat dari nama Allah SWT al-Qâbidh (Yang Menyempitkan) dan al-Bâsith (Yang Melapangkan) yaitu kelapangan atau kesempitan.
Al-Bâsith atau kelapangan sendiri melahirkan rasa gembira, dan untuk al-Qâbidh atau kesempitan melahirkan rasa sedih. Ketika lapang kita ingin kelapangan itu langgeng, ketika sempit kita ingin kesempitan itu berakhir.
Senang akan kelapangan dan derita akibat kesempitan telah memporakporandakan hati kita sehingga tidak sempat lagi menyaksikan Sang Pembuat lapang dan sempit.
Selama pandangan kita masih seperti ini, hanya terhenti pada persoalan lapang dan sempit saja maka pasti hati kita akan lelah dan sulit untuk meraih kebahagiaan.
Seni hidup bahagia adalah bagaimana kita dapat menemukan kegembiraan justru dalam musyahadah (penyaksian mata hati) terhadap perbuatan al-Qâbidh (Yang Menyempitkan) dan al-Bâsith (Yang Melapangkan).
Dia (Allah) yang menempatkan kita dalam himpitan kesempitan adalah Dia yang menempatkan kita dalam lautan kelapangan. Dia (Allah) yang menghantam kita dengan badai musibah adalah Dia yang membanjiri kita dengan luapan nikmat-Nya.
Jika hati kita berhasil merasakan kebahagiaan dengan pandangan ketauhidan murni ini, maka ketahuilah bahwa Allah telah memberikan kita minuman dari perbendaharaan ghaib-Nya yang tidak diberikan kecuali kepada para kekasih-Nya.
Semua orang tidak mungkin lepas dari qadhâ dan qadar Allah Ta’ala, tapi tidak semua orang mampu merasakan manisnya ridhâ menerima ketentuan Allah meskipun ia tahu Allah Ta’ala itu ilmu-Nya, hikmah-Nya dan rahmat-Nya tak bertepi. Memang pengetahuan akal (‘ilm) belum tentu menjadi keaadaan hati (hâl).
Bagi seorang ‘ârif (mengenal Allah secara ‘ilm dan hâl) ucapannya ketika sempit adalah ucapannya di kala lapang, yaitu alhamdulillâh (segala puji hanyalah milik Allah) karena yang ia saksikan adalah keindahan perbuatan Allah. Bersabda Nabi saw:
أَوَّلُ مَنْ يُدْعَى إِلَى الْجَنَّةِ الْحَمَّادُونَ الَّذِينَ يَحْمَدُونَ اللَّهَ عَلَى السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
“Yang pertama kali akan dipanggil masuk surga adalah Para Pemuji, yaitu orang yang senantiasa memuji Allah di kala lapang maupun sempit.” (HR. Thabranî dari Ibnu ‘Abbâs ra).
Kita sudah terbiasa mengucapkan alhamdulillâh ketika mendapat banyak uang, tetapi kita belum bisa mengucapkan alhamdulillâh ketika kehilangan meski hanya sedikit uang.
Banyak dari kita yang mengatakan alhamdulillâh ketika sehat, tapi jarang dari kita yang sanggup menyebut alhamdulillâh ketika sakit. Kita spontan mengatakan alhamdulillâh ketika mengiringi kelahiran anak, tetapi sulit untuk mengatakan alhamdulillâh ketika anak kita meninggal. Bersabda Nabi saw:
إِذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيَقُولُ قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيَقُولُ مَاذَا قَالَ عَبْدِي فَيَقُولُونَ حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ فَيَقُولُ اللَّهُ ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بَيْتَ الْحَمْدِ
“Apabila putera seorang hamba Allah meninggal dunia, Allah pun berfirman pada malaikat-Nya: Kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku? Para malaikat menjawab: benar. Allah berfirman: Kalian telah mencabut nyawa buah hatinya? Malaikat menjawab: benar. Allah bertanya: Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku itu? Malaikat menjawab: Ia memuji Engkau (alhamdulillâh) dan beristirja’ (innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn). Allah pun berfirman: Buatkan untuk hamba-Ku itu sebuah rumah di surga dan namakan rumah itu Baitul Hamd (rumah pujian).” (HR. al-Tirmidzi dari Abu Musa al-Asy’arî ra, ia berkata hadits hasan gharib).
Bersabda Rasulullah saw:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Alangkah luar biasanya keadaan seorang mukmin. Segala keadaannya selalu baik dan hal ini hanya terjadi pada seorang mukmin. Jika kelapangan menghampirinya ia pun bersyukur maka syukur itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika kesempitan menerpanya ia pun bersabar maka kesabaran itu menjadi kebaikan baginya.”(HR. Muslim dari Shuhaib bin Sinan ra)
Dialah al-Hakîm (Yang Maha Bijaksana), tidak keluar dari-Nya kecuali kebijaksanaan. Dialah al-Rahîm (Yang Maha Pengasih), tidak mengalir dari-Nya kecuali kasih sayang. Dialah al-Barr (Yang Maha Baik), tidak memancar dari-Nya kecuali kebajikan.
Apa pun yang terjadi pada diri-diri kita, kelapangan atau kesempitan, adalah demonstrasi ilmu, hikmah, rahmat, kebajikan dan kekuasaan Allah swt. Tidak ada ucapan yang pantas keluar dari lisan kita dalam menanggapi kebesaran-Nya ini selain ucapan alhamdulillâh (segala puji hanyalah milik Allah). Kita telah terlatih memuji Allah di kala lapang tetapi untuk dapat memuji Allah di kala sempit kita masih harus lebih banyak berlatih.
Penulis: Ust. Abdul Hakim Benny Susilo, Ph.D
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid