Dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla - Impor bahan pangan. (ilustrasi/aktual.com)
Dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla - Impor bahan pangan. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Selama ini pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) kerap membanggakan diri bahwa laju kemiskinan dan ketimpangan sosial telah membaik. Padahal secara substansi bukannya membuat kehidupan masyarakat miskin menjadi lebih baik.

Justru dalam catatan INDEF, selama dua tahun di bawah Jokowi-JK, angka kesenjangan atau gini ratio yang menurun itu sifatnya semu. Sehingga tak layak juga dibanggakan oleh pemerintah.

“Karena faktanya, penurunan kesenjangan lebih didorong faktor rendahnya konsumsi pada masyarakat kaya, bukan karena naiknya pendapatan masyarakat miskin,” cetus peneliti INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, saat diksusi evaluasi dua tahun Jokowi-JK, di kantornya, Jakarta, Kamis (20/10).

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), laju gini ratio per periode Maret 2016 sebesar 0,397 atau menurun dari enam bulan sebelumnya yang 0,40. Sementara jumlah penduduk miskin di periode yang sama sebanyak 28,01 juta jiwa atau sekitar 10,86% dari jumlah penduduk Indonesia. Atau turun dari enam bulan lalu sebanyak 28,51 juta orang atau sekitar 11,13% dari total penduduk.

Menurut Bhima, kesenjangan saat ini secara kualitas masih sangat memprihatinkan. Apalagi fakta lainnya, dikihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita antar wilayah masih ada ketimpangan luar biasa.

“Tapi yang dihitung oleh BPS masih dari unsur pengeluaran. Kalau mau jujur, penurunan gini ratio itu hanya karena orang-orang kaya yang menahan konsumsi, sementara bagi orang miskin tak ada tak ada perbaikan pendapatan. Jadi ini, hanya the art of lie statistik. Seni membohongi statistik,” kecam Bhima.

Apalagi jika dilihat sari sisi pendapatan, sebanyak 40 persen pendpaatan terendah ternyata tidak mengalami kenaikan pendapatan.

“Karena kalau hanya mengagungkan angka gini ratio yang menurun yang 0,39 itu, justru di tahun 1964 dan 2005 gini ratio-nya lebih baik dari saat ini,” imbuhnya.

Lebih jauh ia menegaskan, kondisi semu juga terjadi dalam kemiskinan. Kendati, angka-angkanye menurun, tapi dari sisi kedalaman dan keparahan kemiskinan masih tinggi.

“Jadi, jika dilihat dari indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan masih tinggi. Ini menjadi bukti bahwa orang miskin makin dalam jatuh ke jurang kemiskinan,” tandas dia.

Sementara, kata dia, di daerah timur Indonesia kemiskinan itu masih menjadi momok. “Jadi secara nasional memang statistik menurun, namun kita tidak bisa lantas bicara penduduk miskin menurun. Karena garis kemiskinan itu angkanya lebih timpang,” jelasnya.

Menurut dia, untuk memberantas kemiskinan, mestinya laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, bisa mengangkat masyarakat Indonesia menjadi lebih baik.

“Satu persen pertumbuahn ekonomi harus bisa ciptakan 110 ribu tenaga kerja baru. Tapi yang terjadi, kualitas pertumbuhan ekonomi semakin rendah. Padahal dulu, di zaman Soemitro, 1 persen pertumbuhan bosa menyerap 200 ribu tenaga kerja baru,” sindirnya.(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid