Guru
Menyimak guru beraksi
Kubaca lagi garis wajah moyangku
Setiap purna gajian satu kerutan terpahat di wajah
Torehkan getir di balik etos perjuangan
Setali uang dengan lima tanggungan
Tak habiskan semangat untuk orangkan anak
masih jua bagikan nikmat bagi sesama
Meski itu berarti habis bulan sisakan utang
Tak pernah habis kupikir
Dalam telikung kefakiran
Sang guru masih jua wantikan hidup sederhana
suburkan ilmu
kerdilkan kemewahan
Apakah si miskin sulit bayangkan kemewahan?
Menyimak guru beraksi
Kuingat lagi riwayat moyangku
Hidup diasporik antartitik pengasingan
Hanya karena bantu petani perjuangkan harga ketela
atau sebutkan nomor pilihan selain nomor atasan
Ah,
Usiaku belum lagi genap sepuluh
Saat senapan ditodongkan di punggungmu
Bangunkan malam
dengan bisik lembut di kupingku
(Jaga adikmu
ayah pergi entah kemana
temanilah dengan bacaan)
Oh,
Si miskin ini cuma tahu bacaan
makan sahur dengan dongengan
hiburan mingguan dengan perdebatan
dan hadiah tahunan dengan syair dan cianjuran
Apakah si miskin tak kenal kelezatan?
Setidaknya di sana tersimpan harapan
Tak seperti sewindu terakhir
bahkan selembar koran tak lagi terpajang di meja depan
Dalam rangkaian gerbong potongan yang tak kunjung berujung
Dan cekikan surat keputusan yang tak lagi terbeli
Bacaan tak lagi hinggap di benakmu
Lama terdiam
dalam himpitan kepedihan
Kebisuanmu merambat dari hati ke hati
bergulung dalam waktu
meledak seketika
di keriuhan ibukota
memekikkan telinga wakil rakyat
setelah lama butatuli
Wahai ketulusan,
Hingga kapan kau bertahan
dalam kebersahajaan
Sementara marwahmu terlipat
dalam pameran kemewahan
anak didikmu sendiri?
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)