Isu rush money. (ilustrasi/aktual.com)
Isu rush money. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Isu rush money atau penarikan dana di perbankan secara serempak yang sempat mencuat mestinya tak direspon secara sepihak. Pasalnya, ini adalah masalah serius.

Bahkan jika dibedah dari aspek perbankan sendiri, jika rush money itu dilakukan saat ini, bank pasti tak akan mampu memenuhi seluruh dana yang ditarik itu. Karena dana simpanan sendiri sudah dialirkan menjadi kredit dan hanya sedikit sebagai likuiditas perbankan.

Menurut pengamat ekonomi politik, Salamuddin Daeng, kinerja perbankan itu hanya mengumpulkan dana masyarakat atau disebut Dana Pihak Ketiga (DPK).

Bagaimana cara modern itu ? uang masyarakat dikumpulkan atau disebut dana pihak ketiga, lalu menciptakan kesan dilipatgandakan seperti bunga pada bank. Perbankan hanya memutar dana itu untuk mengambil selisih bunganya, bisa melalui net interest margin (NIM) atau fee base income.

“Sehingga dengan kondisi itu, belum tentu uang riilnya itu masih ada di bank tersebut,” tegas Salamuddin melalui keterangan yang diterima, di Jakarta, Jumat (25/11).

Karena pada dasarnya, perbankan sendiri sudah tidak punya uang yang cukup, walaupun untungya seringkali disebut sangat besar, puluhan triliun.

“Karena uang bank itu adalah uang masyarakat. Dan bank tidak simpan dana cash yang banyak. Dari ribuan triliun di DPK hampir semua sudah disalurkan ke kredit,” jelasnya.

Berdasar data Bank Indonesia per September 2016, DPK dalam bentuk rupiah di bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mencapai Rp3.770 triliun, sementara posisi kredit rupiah yang dikucurkan bank umum dan BPR sebanyak Rp3.697 triliun.

“Dengan demikian, yang tersisa di bank dalam bentuk rupiah pada bank umum dan BPR hanya sebesar Rp73 triliun. Lho kalau mau ada rush money, bagaimana itu? Bank tak punya duit,” ungkap dia.

Oleh karena itu, kata dia, dapat dibayangkan jika 10 persen saja DPK rupiah pada bank umum dan BPR ditarik dalam waktu bersamaan oleh pemiliknya, maka nilainya mencapai Rp377 triliun.

“Jika begitu, artinya bank tidak memiliki kemampuan untuk membayar. Dengan demikian, berarti bank itu langsung bangkrut atau kolaps,” tandas Salamuddin.

Makanya, kata dia, modal utama institusi keuangan modern seperti bank itu adalah kepercayaan masyarakat. Modal utama bank adalah kepercayaan masyarakat, bukan uang. Kalau masyarakat percaya maka uang bank itu ada.

Akan tetapi, jika masyarakat tidak percaya maka uang bank itu tidak ada. Dengan kata lain, bank itu akan bangkrut.

“Itulah mengapa yang menjadi tugas utama bank adalah bagaimana terus menerus membangun kepercayaan masyarakat,” kata dia.

Dengan demikian, dia menyebutkan, isu rush money yang belakangan ini dihembuskan oleh berbagai pihak, mestinya menjadi pelajaran bagi pemerintahan Jokowi. Bahwa kepercayaan masyarakat itu, termasuk kepercayaan publik terhadap bank, adalah modal utama dalam menjalankan kekuasaan politik.

“Juga menjadi pelajaran bagi para konglomerat. Jangan mentang-mentang berkuasa dan punya uang. Karena perekonomian, keuangan dan keuntungan bisnis itu berasal dari kepercayaan dan kecintaan masyarakat. Jadi baik-baiklah dengan rakyat,” pungkas dia.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka