Warga melihat Masjid Jami Nur Abdullah yang rusak akibat gempa di Desa Paru Keude, Lueng Putu, Kabupaten Pidie, Aceh, Kamis (8/12). Data sementara yang dirilis Pemprov Aceh mencatat gempa berkekuatan 6,4 SR pada 7 Desember 2016 pukul 05.03 WIB yang berpusat di Kabupaten Pidie Jaya menyebabkan 97 orang meninggal dunia, 86 unit rumah, 105 ruko, 13 unit masjid rusak berat, dan 536 orang luka-luka. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/kye/16.

Jakarta, Aktual.com – Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, mengungkapkan pengungsi gempa bumi di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh di pos pengungsian terdapat kelompok rentan seperti bayi, anak-anak, ibu hamil, lansia, dan disabilitas yang memerlukan perlakuan khusus.

Ia mencontohkan bagaimana kelompok rentan dimaksud di pos pengungsian Gampong Tu, Kecamatan Panteraja, Kabupaten Pidie Jaya. Dimana terdapat 63 jiwa bayi berusia 0-4 tahun dan 60 jiwa berusian 5 hingga 9 tahun dari total 500 jiwa (200 KK).

Pemberian bantuan berupa makanan untuk bayi dan balita, menurutnya tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Bagi ibu dan bayi yang masih menyusui harus mendapat perhatian.

“Air susu ibu (ASI) adalah makanan yang paling sempurna bagi bayinya. Bagaimana pun, menyusui dalam kondisi darurat menjadi lebih penting karena terbatasnya sarana untuk penyiapan susu formula, seperti air bersih,” kata Sutopo dalam keterangannya, Minggu (11/12).

Disampaikan, bahan bakar dan susu formula jumlahnya tidak memadai. Padahal pemberian susu formula bisa meningkatkan risiko terjadinya diare, kekurangan gizi dan kematian bayi. Sutopo berkaca pada pengalaman bencana sebelumnya, dimana susu formula dan susu bubuk adalah bantuan yang umum diberikan dalam keadaan darurat.

Produk-produk ini seringkali dibagikan tanpa kontrol yang baik dan dikonsumsi oleh bayi dan anak-anak yang seharusnya masih harus disusui. Merujuk hasil penilaian UNICEF, satu bulan setelah gempa di Yogyakarta di 2006, menunjukkan tiga dari empat keluarga yang memiliki anak-anak di bawah usia enam bulan menerima bantuan susu formula.

Hasil tersebut juga menunjukkan adanya peningkatan konsumsi susu formula dari 32 persen sebelum gempa menjadi 43 persen setelah gempa. Akibatnya, kasus-kasus penyakit diare di kalangan bayi usia di bawah enam bulan yang menerima bantuan susu formula dua kali lebih banyak dibandingkan mereka yang tidak menerima bantuan itu.

Di samping itu, lanjut Sutopo, secara rata-rata angka diare di kalangan anak-anak usia antara 6 – 23 bulan adalah 5 kali lebih besar dari angka sebelum gempa. UNICEF dan WHO telah mengingatkan bahaya pemberian susu formula di pengungsian.

“Apa yang terjadi pasca bencana gempa di Bantul, Yogyakarta hendaklah dijadikan pelajaran. Pemberian susu formula kala itu justru meningkatkan terjadinya diare pada anak di bawah usia dua tahun,” jelas dia.

BNPB berharap donasi berupa susu formula, botol, dot, empeng tetap melalui persetujuan dari dinas kesehatan kabupaten/kota setempat. Namun jika ada bayi yang tidak bisa disusui, bayi tersebut bisa diberikan susu formula dengan pengawasan ketat.

“Botol bayi sebaiknya tidak digunakan karena risiko terkontaminasi, kesulitan untuk membersihkan botol,” kata Sutopo.

Hal lainnya yang mendapatkan perhatian BNPB, yakni menyangkut penggunaan sendok atau cangkir untuk memberikan susu kepada bayi. Jika ada bayi yang tidak bisa disusui, hendaknya pemberian susu diawasi secara ketat. Selain itu sarana air bersih yang memadai serta peralatan penyiapan yang higienis dan pemberiannya dimonitor.

“Dihimbau masyarakat dan semua pihak untuk memperhatikan jenis bantuan yang diperlukan. Niat baik untuk membantu sesama agar justru tidak menimbulkan masalah baru khususnya bagi bayi dan balita di pengungsian,” demikian Sutopo.(Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid