Jakarta, Aktual.com-Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qasasih mempertanyakan materi perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2005 menjadi PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.

Dia melihat aturan ini akan bertentangan dengan aturan tentang kekayaan negara. Menurutnya, segala saham yang masuk dalam kekayaan negara, pengambilalihan ataupun perubahan status kepemilikan harus persetujuan DPR. Namun dengan perubahan ini, membuka peluang penyalahgunaan wewenang akibat lepasnya kontrol dari DPR.

“Kok jadi seperti itu ya? BUMN itu adalah keuangan negara dan tunduk terhadap UU Keuangan Negara dan UU Kekayaan Negara, sehingga, semua pengurangan kekayaan negara harus mendapat persetujuan DPR,” ungkap Achsanul Qasasih di Jakarta, Rabu (11/1/2017).

Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo berpendapat, aturan tersebut berbahaya karena saham BUMN yang dimiliki negara dapat berpindah tangan ke siapapun tanpa diketahui oleh DPR.

“Jika dilihat kontennya ada dua hal bermasalah. Pertama klausul perubahan kekayaan negara. Dalam PP ini setiap perpindahan aset negara ke BUMN lain atau Perusahaan Swasta, itu tanpa harus persetujuan DPR,” kata Agus ketika dihubungi, Rabu (11/1/2017).

Dalam PP tersebut, tertulis di Pasal 2A yakni:
(1) Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

“Maksudnya, ketika ada perpindahan kepemilikan saham yang dimiliki negara dalam hal ini BUMN ke perusahaan lain ataupun pengalihan saham melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) maka tidak melalui mekanisme APBN. Jadi pengalihan saham melalui PMN bisa dilakukan pemerintah kapan saja tanpa wewenang DPR,” kata Agus menambahkan.

“Lho ini berbahaya seperti melego Indosat saja ketika itu tanpa persetujuan DPR maka BUMN bisa saling bergabung dan berpindah tangan kepemilikannya,” ungkap Agus lebih jauh.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid