Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, apalagi yang pantas dikabarkan dari gonjang-ganjing jagad politik hari ini? Bukankah sekalipun lautan dijadikan tinta niscaya akan habis airnya sebelum tuntas dituliskan berbagai masalah dan sengkarut kenegaraan kita.
Dengan analisis politik yang membatasi perhatian pada lembaga-lembaga politik formal serta pada katalogisasi peristiwa politik sehari-hari, nyaris tak ada kisah yang bisa membangkitkan harapan.
Beruntunglah, ilmu sosiologi politik baru, yang meluaskan cakupan wacana politik dari perhatian tradisionalnya terhadap relasi kuasa antara negara dan masyarakat, menuju relasi sosial dalam medan kebudayaan—dalam kehidupan sehari-hari, dalam wacana dan media, dalam pemberdayaan masyarakat dan praktik institusional—membantu memahami politik sebagai suatu kemungkinan yang ada dalam setiap aspek kehidupan sosial.
Politik dalam arti ini bisa dilihat sebagai sesuatu yang bersifat kultural. Karena kehidupan sosial didasarkan pada pemaknaan (signification), maka penciptaan, pemanipulasian dan pertarungan makna dalam segala kehidupan sosial dengan sendirinya bersifat politis (Nash,2000).
Analisis politik yang tidak terbatas pada peristiwa “murni” politik dan lembaga-lembaga politik formal ini seturut dengan tanggung jawab politik dalam kehidupan republik. Istilah Republik, “res publica” (urusan publik) meliputi seluruh institusi, komunitas dan wacana yang membentuk tatanan kehidupan publik; berarti jauh lebih luas ketimbang ranah pemerintahan.
David Hollenbach berargumen, jika yang dimaksud dengan ranah politik itu meliputi keseluruhan aktivitas manusia dalam kehidupan publik, maka hal itu jauh lebih luas ketimbang sebatas institusi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian, institusi civil society—media, komunitas agama, dan masyarakat sipil dan masyarakat media—memiliki peran publik yang dapat mempengaruhi kebijakan publik dan kehidupan republik melalui pengaruhnya terhadap berbagai komunitas, wacana serta pada pemahaman budaya warga negara.
Dengan menyodorkan peran politik dari lembaga-lembaga non-politik, usaha pencerahan atas kegelapan jagad politik itu tidak bisa didelegasikan kepada masyarakat politik sendirian, yang sejauh ini terbukti tak bisa diandalkan. Peran politik masyarakat sipil diharapkan bisa mengembangkan reservoir nilai-nilai budaya politik yang positif seraya melancarkan kontrol vertikal atas kebijakan dan perilaku masyarakat politik. Bagaimanapun juga watak dan perilaku masyarakat politik merupakan pantulan dari nilai-nilai budaya dan perangai masyarakat sipil.
Dengan kata lain, sejauh masih ada nilai-nilai dan ide-ide positif dalam lingkungan masyarakat sipil, sejauh itu pula masih ada harapan bagi perbaikan masyarakat politik. Oleh karena itu, tatkala publik mulai jemu dengan cerita-cerita negatif dari dunia politik, perhatian media dan opini publik sebaiknya mulai diarahkan pada ide-ide segar, perjuangan dan keberhasilan orang-orang dalam kehidupan sosial yang meniti perubahan secara positif.
Dalam hal ini, rasio antara informasi permaslahan dengan informasi penyelesaian masalah perlu lebih diseimbangkan, agar-agar sisi-sisi gelap dalam kehidupan publik mendapatkan kemungkinan pencerahannya.
Dengan realitas pemberitaan yang tidak terlampau terdistorsikan, ternyata banyak tersembunyi kisah kepahlawanan yang membangkitkan harapan, yakni meluasnya lanskap inovator yang mengandung potensi transformasi masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik. “Dua puluh tahun yang lalu, hanya ada satu organisasi lingkungan yang independen di Indonesia. Hari ini, setidaknya ada lebih dari 2000 organisasi sejenis itu,” tulis David Bornstein dalam How to Change the World (2007).
Apa yang diungkapkan oleh Bornstein itu merupakan pertanda dari kebangkitan social entrepreneur di negeri ini; orang-orang dengan ide-ide transformatif untuk mengatasi masalah-masalah besar yang tidak kenal lelah berjuang merealisasikan visinya. Program-program talk-show semacam “Kick Andy” secara regular mengungkap kisah kepahlawanan para inovator ini.
Masalahnya, ada kesenjangan antara gagasan inovatif dan transformatif di tingkat masyarakat dengan kelembaman dan kejumudan di dunia politik. Ide-ide konstruktif dalam wacana masyarakat sipil tidak bersambung dengan kebijakan politik. Diperlukan kekuatan agen kultural terpercaya yang bisa membuat ide-ide transformatif di tingkat masyarakat itu diperhitungkan dan diimplementasikan oleh lembaga-lembaga politik.
Ormas-ormas besar dengan warisan legitimasi kultural yang kuat, semacam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, mestinya bisa mengemban peran penghubung ini. Masalahnya, bagaimana Ormas-Ormas ini bisa terus menjaga kredibilitas legitimasi budayanya.
Penyusupan interes politik kekuasaan serta kepentingan uang merupakan faktor yang bisa mendeligitimasikan kewibawaan dan eksistensinya. Per definisi, masyarakat sipil adalah asosiasi yang muncul dengan prinsip kesukarelaan-(voluntarism). Prinsip kesukarelaan ini akan hancur, sekiranya uang dan politik kekuasaan mendikte pilihan-pilihan kebijakan dan kepemimpinannya.
Distorsi-distorsi dalam masyarakat sipil harus diatasi, agar kepeloporan para inovator dalam kehidupan sosial itu mendapatkan artikulatornya untuk bisa bertautan dengan inovasi dan transformasi di bidang politik.
Dengan demikian, masih ada secercah harapan, kabar baik, yang bisa membangkitkan harapan dari jagad politik negeri ini.
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)
Artikel ini ditulis oleh: