Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, dengan agenda-agenda kampanyenya yang kuat berwarna proteksionis, sempat membuat gugup banyak negara serta lembaga internasional. Seolah-olah era perdagangan bebas dan globalisasi, yang menjadi latar belakangnya, akan segera berakhir.
Segera terbayang, jika mengikuti contoh yang diberikan AS, banyak negara akan menerapkan kebijakan perdagangan yang semakin proteksionis. Bahkan bisa terjadi “perang dagang.” Akibatnya, globalisasi semakin kehilangan maknanya. Tindakan Inggris yang melalui referendum akhirnya memutuskan keluar dari Uni Eropa (Brexit) juga semakin memperkuat kesan negatif ini.
Betulkah globalisasi sudah tidak punya prospek lagi? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita membaca tren terbaru yang dinamai “trilema globalisasi.” Apa yang dimaksud dengan istilah itu?
Kalau istilah “dilema,” ini sudah biasa kita dengar. Dilema itu menunjukkan pilihan yang sulit di antara dua opsi. Misalnya, kalau dimakan, bapak mati; tapi kalau tidak dimakan, ibu mati. Kini di kalangan peminat kajian internasional juga muncul istilah “trilema globalisasi” (globalization trilemma).
Trilema globalisasi adalah istilah yang dilontarkan Dani Rodrik, ekonom dan profesor dari the Harvard Kennedy School, Amerika Serikat. Ekonom kelahiran Turki itu berpendapat, trilema globalisasi menjelaskan bagaimana sebuah negara tidak bisa menerapkan secara penuh tiga hal sekaligus: demokrasi, kedaulatan nasional, dan globalisasi.
Rodrik menyebut trilema ini sebagai “teori ketidakmungkinan.” Sebuah negara hanya mungkin menerapkan dua dari tiga tersebut. Satu hal harus dikorbankan. Jika ingin mempertahankan globalisasi, maka sebuah negara harus mengorbankan salah satu dari demokrasi atau kedaulatan nasional.
Padahal Forum Ekonomi Dunia atau WEF (World Economy Forum) telah menyatakan, kecenderungan yang ada saat ini mengarah pada keseimbangan antara demokrasi dan kedaulatan nasional. Akibatnya, ambisi integrasi perekonomian internasional semakin terbatas. Rodrik menyebut hal ini sebagai “versi terbatas globalisasi” (limited version of globalization).
Globalisasi punya dua sisi, sisi baik dan sisi gelap. Globalisasi memang telah mendorong pertumbuhan perdagangan dan investasi dunia. Berkat pesatnya kemajuan teknologi, globalisasi juga mendorong industri untuk menyebarkan lokasi industri ke banyak negara, memanfaatkan peluang pemotongan biaya sekaligus memaksimalkan profit.
Baik di negara asal industri (sebut saja negara industri maju) maupun di negara tujuan lokasi produksi (sebut saja negara berkembang seperti Indonesia), globalisasi membantu orang di dunia keluar dari zona kemiskinan. Harga berbagai produk dan barang pun jadi lebih bersaing. Itu sisi baiknya.
Namun, globalisasi juga punya sisi gelap. Di negara tujuan lokasi industri, globalisasi seolah mengeksploitasi tenaga kerja (yang dibayar murah untuk menghemat ongkos produksi, atau buruh harus bekerja dalam kondisi kerja yang memprihatinkan di negara-negara berkembang).
Sedangkan di negara asal industri, sejumlah besar warga kehilangan lapangan kerja karena tingginya biaya produksi (sebut saja di Amerika Serikat). Kelompok masyarakat inilah yang terkesan tersisih dan terpinggirkan oleh globalisasi. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (fenomena Brexit) dan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden AS tahun lalu dilatarbelakangi oleh kondisi ini.
Globalisasi pada akhirnya berada di persimpangan jalan yang bersejarah. Tak ada negara yang ingin melepas ideologi dan kedaulatan nasionalnya demi globalisasi. Sulit menemukan negara yang dengan sukarela membuka pasarnya lebar-lebar bagi produk, investasi, sampai tenaga kerja asing. Sejumlah sektor harus dipertahankan dan proteksi tetap diperlukan, untuk menjaga kedaulatan.
Namun, mereka juga tidak ingin melepas sepenuhnya globalisasi. Karena tanpa globalisasi, sulit membayangkan perdagangan internasional bisa berkembang. Saat ini tidak ada satu negara pun yang bisa maju dengan hidup sendirian. Maka salah satu pilihannya, seperti dikatakan Rodrik, adalah menjalankan “versi terbatas globalisasi.” Yakni, versi perdagangan internasional dan investasi yang adil, bukan sekadar bebas. ***
Artikel ini ditulis oleh: