Ribuan buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia melakukan aksi didepan Istana Negara, Rabu (28/10/2015). Dalam aksinya para buruh SPSI menolak disahkannya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengupahan dan para buruh yang dari berbagai daerah diantara, (Karawang, Bekasi, Bandung, Purwakarta, Sumedang dan Sukabumi).

Jakarta, Aktual.com – Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kepemilikan Asing pada Perusahaan Perasuransian cukup ramai dibahas antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Komisi XI.

Sikap DPR seolah meradang, sebab Menkeu sendiri akan meregulasi kepemilikan asing di sektor perasuransian maksimal 80 persen. Sikap Menkeu ini dianggap sangat liberal, padahal kebijakan itu belum tentu menguntungkan pihak Indonesia.

“Saya pertanyakan, bagaimana segmen keberpihakan pemerintah soal segemen asuransi ini? Karena dengan ini (kepemilikan sahan) intinya kita kan jual lapak, tapi kita Indoneisa itu dapat apa? Ini sangat liberal,” tandas Anggota Komisi XI DPR, Jhon Erizal, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (17/4).

Pasalnya, kata dia, soal asuransi ini, kalau itu untuk asuransi jiwa maka orangnya adalah orang Indonesia. Sedang untuk asuransi kerugian, maka asetnya adalah milik Indoneda.

“Jadi objeknya adalah orang Indonesia, kenapa harus mayoritas asing itu sampai 80 persen? Kalau pun mau mayoritas kan bisa 51 persen dari asing dan lokalnya 49 persen,” kecam politisi PAN itu.

Menurutnya, kalau alasan kepemilikan asing yang besar itu bisa antisipasi dari krisis, hal itu pun masih diperdebatkan.

“Kita bisa cek bagaimana pelaku asuransi mereka selam ini. Jangan sampai mayoritas asing, tapi saat krisis apakah bisa dana mereka yang tanggung? Karena bisa saja dananya itu nantinya akan disimpan di luar. Seperti di AS pun, saat krisis malah ada bail out juga. Bukan dari pemilik asuransinya,” tandas dia.

Sedang Anggota Komisi XI lainnya, Maruarar Sirait meyebut, melihat dari program tax amnesty kemarin, tenyata masih banyak dana yang tidak bisa dibawa ke dalam negeri.

“Jadi, kalau pun sampai 80 persen, dananya bisa saja disimpan di luar negeri. Karena ekpektasi saya tinggi terhadap hal ini, sehingga policy-nya harus berimbang,” tandas dia.

Untuk itu, dia minta jangan sampai kebijakan ini terburu-buru. Bisa sampai 2-3 bulan lagi baru disahkan regulasi ini.

“Agar mereka tertarik, makanya Ibu (Menkeu) bisa kombinasikan penjelasannya. Sehingga policy berimbang. Karena, Anda sendiri belum bisa simpulkan, kenapa industri ini sudah bagus? Saya rasa butuh 2-3 bulan lagi sebelum jadi PP,” tandasnya.

Di tempat yang sama, Menkeu ngotot kebijakan ini nantinya bisa sampai 80 persen kepemilikan sahamnya di industri asuransi. Menkeu mengacu ke kasus kebangkrutan PT Bumi Putera yang kekuarangan modal. Nantinya kalau asing kuat, maka kalau ada krisis pun pemilik asing itu yang bertanggung jawab.

“Pemerintah anggap perlu dipertahankan (kepemilikan saham) maksimal 80 persen karena dua alasan. Pertama dari aturan sebelumnya yang membolehkan selama ini sudah 80 persen,” jelad Menkeu.

Dan kedua, kata dia, kemampuan untuk kelola risiko krisis, sehingga bisa mengundang pihak asing agar. Terlibat dalam penyelesaian krisis agar lebih menuntungkan bangsa Indonesia. “Sehingga nantinya ada mekansime (penyelesaian krisis) dengan skema bailin bukan lagi bailout,” ujar dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid