Ditengah kebuntuan dan carut-marut antar elit politik yang sebenarnya tidak punya derajat sebagai pemimpin atau elit kepemimpinan bangsa, maka sungguh sangat mengagumkan jika kita berpaling kepada khazanah kearifan lokal para pemimpin kerajaan-kerajaan Nusantara. Salah satunya adalah Prabu Suryakancana atau Raga Mulya, Raja terakhir Padjajaran (1567-1579).
Beberapa visi beliau yang dituturkan melalui Wangsit Siliwangi, menggugah saya untuk menyelami visi dan prediksinya dari sudut pandang Geopoitik Nusantara.
Dalam salah satu prediksi dan visinya, saat Kerajaan Padjajaran semakin terdesak oleh gelombang serangan kerajaan Islam Banten dan Demak, beliau bertutur:
“Perjalanan kita hanya sampai pada hari ini. Sekalipun kalian tetap setia padaku, namun aku tidak boeh membawa kaian ikut hidup sengsara, compang-camping, dan menahan lapar. Kalian sekarang harus memiih yang baik untuk diri sendiri menyongsong kehidupan masa datang! Sehingga bisa hidup senang dan makmur dan sejahtera.
Sehingga kaian bisa mendirikan kembai Padjajaran yang bangki karena rasa penasaran dan menapak pada uga. Tapi bukan Padjajaran sekarang, melainkan Padjajaran tengah yang baru. Yang berdiri dibangunkan oleh berubahnya zaman.
Sekarang kalian harus memiih, aku yang memberi perintah. Sebab bagiku tidak pantas menjadi Raja, sementara rakyat semuanya lapar dan sengsara, segala susah, segala tiada..!”
Dengarkan, pilih! Aku tidak akan menghalang-halangi. Sebab aku yang memberi perintah untuk memilih. Sesiapa yang ikut denganku, silakan berkumpul di Selatan(Tegal Buleud, Sukabumi. Sebab waktu itu pusat kekuasaan Padjajaran di Pakuan-Bogor, sudah diambi-alih Banten yang berkolaborasi dengan Demak, dan belakangan Mataram).”
Demikian penuturan Wangsit Prabu Siliwangi yang diyakini disampaikan oleh Prabu Suryakancana atau Raga Mulya, sebagai raja terakhir Padjajaran. Pada era itu, persekutuan strategis dua kerajaan Islam Banten-Demak sudah semakin menguat dan menguasa seluruh Pantai Utara Jawa.
Mari kita paparkan bagian lain dari prediksi Prabu Suryakancana: “Yang ingin kembali ke kota kenangan, silahkan berkumpula ke seblah Utara. Kaian yang akan ke sebelah Utara, Dengarkan! Harus tahu oleh kalian, tak akan ada kota yang dituju. Dari antara kalian akan banyak yang jadi rakyat biasa. Kalaupun memegang jabatan, akan tinggi jabatannya namun tidak memiliki kekuasaan.”
Secara geografis, yang dimaksud sebelah Utara oleh Prabu Suryakancana nampaknya adalah Pelabuhan Sunda Kelapa. Menarikya, terkait wilayah sebelah Utara ini, Prabu Siliwangi menggambarkan visi masa depan yang kalau kita telisik kesejarahannya kelak benar. Beliau memprediksi:
“Kalian nanti, akan kedatangan tamu(maksudnya kalian adalah para pengikut Prabu Siiwangi yang memilih pindah ke Utara). Akan banyak teman dari tempat jauh, tapi teman yang akan membuat susah! Waspadalah.
Kalian akan diadudomba. Diadudombakan oleh orang Timur untuk memusuhi orang Timur. Untuk memusuhi orang Barat. Dimusuhi orang dari Utara, dimusuhi Sunda dari Utara. Dimusuhi Sunda dari Timur. Lawan ….untuk melawan. Sebab Padjajaran tengah akan sejajar kembai di tengah-tengah. Seluruh anggota kelompok kaian tidak akan kaya karena benar. Tidak ada yang senang karena kebaikan.
Sekalipun banyak kemampuan, sekalipun lebih unggu dalam pengetahuan, kaiian tidak akan dihargai oleh Sunda lainnya. Tidak apa! Nanti akan datang masanya dari kelompok kaian yang akan menjadi pemimpin untuk membangunkan bangsa Sunda. Yang tidur akan keterusan tidur sembari duduk terlena.”
Yang menarik dari konsepsi “bangsa Sunda” yang digambarkan dan diramalkan Prabu Suryakancana akan bangkit oleh karena kemunculan pemimpin baru, nampaknya harus diartikan secara geografis/geopoitik, bukan Sunda dalam pengertian Etnis.
Sebab kalau kita telisik berbagai literatur yang mempelajari kepulauan Nusantara secara geografis, maka terdapat dua istiah. Sunda Besar dan Sunda Kecil. Sunda Besar terdiri dari Jawa, Madura, Sumatra, Kaimantan dan Sulawesi. Sedangkan Sunda Kecil merupakan Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku.
Studi mendalam yang dilakukan oleh E. Rokajat Asura dalam bukunya yang menarik bertajuk Tafsir Wangsit Siliwangi dan Kebangkita Nusantara, juga berpandangan yang sama. Bahwa dalam konteks Sunda Besar dan Sunda Kecil inilah prediksi Prabu Suryankancana harus ditempatkan. Bukan Sunda dalam konteks sebagai etnis.
Sehingga ketika Prabu Suryakancana meramalkan “Nanti akan dimusuhi dan diadudomba oleh orang dari Timur dan Barat, kiranya terlalu naif jika diartikan secara sempit sebagai antar etnis. Kalau kita telisik kesejarahan Indonesia sejak abad ke-17 hingga Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Kita pernah dijajah Belanda, Portugis, dan Inggris (orang dari Barat). Namun kita juga pernah dijajah Jepang pada 1942-1945.
Kalau kita cermati konstalasi global sejak pasca Perang Dingin, kala persaingan global AS versus Cina semakin menajam dan memanas di kawasan Asia -Pasifik, maka Indonesia dalam konteks Sunda Besar maupun Sunda Kecil dalam perspektif geografis tadi, saat ini jelas telah dijadikan sasaran perebutan pengaruh dan Proxy War antara AS versus Cina. Berarti secara kontekstual, prediksi Prabu Suryakancana dalam Wangsit Siliwangi sangat jitu.
Betapa bangsa Indonesia (Sunda Besar dan Sunda Keci) telah dijadikan musuh dan diadudomba oleh mereka yang datang dari Barat(AS dan Blok Barart) maupun dari Timur (Cina).
Ya, menarik memang visi Prabu Suryakancana secara geopoitik. Sehingga mengartikan visinya “Nanti akan datang masanya dari kelompok kaian yang akan menjadi pemimpin untuk membangunkan bangsa Sunda,” maka bangsa Sunda dalam konteks ini adalah Bangsa Nusantara(Sunda Besar dan Sunda Kecil).
Kalau saya boleh artikan pesan tersirat maupun hikmah dari Wangsit Siliwangi yang dituturkan oleh Prabu Suryakancana atau Raga Mulya ini, munculnya pemimpin sejati bangsa Nusantara atau bangsa Indonesia, jika mampu mengenali lokalitas dan kearifan lokal bangsa Nusantara dalam konteks Sunda Besar dan Sunda Kecil tersebut.
Seorang Sukarno, yang kelak menjadi Presiden RI pertama, jelas telah memainkan peran sebagai Jembatan Nunsatara. Bukan sekadar presiden. Kemampuannya sebagai Jembatan Nusantara sehingga Bangsa Nusantara terhubung dan bersenyawa secara lahir dan batin, maka Sukarno diakui secara bulat dan akamasi sebagai pemimpin.
Begitu pula halnya dengan Suharto, yang meneruskan tampuk kepemimpinan Sukarno sejak 1966, juga memainkan peran yang sama sebagai Jembatan Nusantara, bukan sekadar seorang presiden. Meskipun kedua presiden RI tersebut punya skema, strategi dan rancang bangun sistem yang berlainan. Namun legitimasi kepemimpinan keduanya diakui secara luas oleh segenap komponen bangsa.
Hikmah lain yang tak kalah penting sekaigus pesan tersirat dari Wangsit Siiwangi itu, bahwa keruntuhan Padjajaran sejatinya bukan akibat serangan militer kerajaan Islam Banten dan Demak sebagai faktor tunggal. Melainkan oleh karena ulah dan sepak-terjang raja-raja Padjajaran sebelumnya yang bersifat lalim dan abai terhadap kewajibannya untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyat, serta ambisi para anggota keluarga kerajaan , pada perkembangannya telah menyebabkan kerajaan Padjajaran keropos dari dalam. Sehingga memudahkan pihak luar (dalam hal ini Banten dan Demak) untuk menaklukkan Padjajaran.
Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.