Gedung BPK Jakarta

Jakarta, Aktual.com-Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai salah satu  lembaga pemerintahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

BPK sendiri  masuk pada kategori lembaga yang bebas intervensi dan mandiri, pernyataan ini tercantum pada Perubahan ketiga UUD 1945.

Sejumlah prestasi telah ditoreh BPK, diantara di tahun 2017 berhasil meraih nilai tertinggi berdasarkan Hasil Evaluasi Reformasi Birokrasi Kementerian/Lembaga/Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun 2017 yang dirilis dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Sedangkan sesuai kewenangannya pada Pasal 10 (1) No 15 Tahun 2006 selama tahun 2013-2016, BPK berdasarkan permintaan aparat penegak hukum (APH) atas suatu tindak pidana  korupsi yang sedang diproses secara hukum, juga telah menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum  sebanyak 107 kasus senilai Rp 9,13 Triliun dan US$ 2,71 Miliar atau seluruhnya ekuivalen Rp 45,63 Triliun.

“Hasil perhitungan tersebut telah disampaikan kepada APH, yaitu kepada Kepolisian RI sebanyak 44 kasus senilai Rp 260, 27 Miliar dan US$ 2,71 Miliar atau seluruhnya ekuivalen Rp 36,76 Triliun, Kejaksaan RI ebanyak 49 kasus, senilai  Rp 295,12  Miliar, dan KPK sebanyak 14 kasus semilai Rp 8,57 Triliuin,” urai  Moermahadi Soerja Djanegara di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sementara itu,  terkait pengadaan barang dan jasa yang berindikasi mengandung unsur pidana lanjut Moermahadi, sesuai dengan UU No 15 Tahun 2004, BPK telah menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan investigatif dan melaporkan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selama periode 2003-2016, papar Moermahadi BPK telah menyampaikan temuan pemeriksaan yang diindikasikan mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang sebanyak 231 surat, yang memuat 446 temuan senilai Rp 33,52 Triliun dan US$841,88 Juta atau seluruhnya ekuivalen Rp 44,84 Triliun.

“Dari temuan itu, instansi berwenang telah menindaklanjuti 425 temuan senilai Rp 33, 05 Triliun dan US$ 763,50 Juta atau seluruhnya ekuivalen Rp 43,31 Triliun (96,6%),” jelas Moermahadi.

Sementara itu menurut Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK R Yudi Ramdhan,  mengatakan (BPK) RI menyimpulkan adanya indikasi kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II minimal 306 juta dolar AS ekuivalen Rp4,08 triliun (kurs tengah BI per 2 Juli 2015 sebesar Rp13.337 per dolar AS).

“Kesimpulan tersebut merupakan hasil pemeriksaan investigatif atas perpanjangan kerja sama pengelolaan dan pengoperasian pelabuhan PT Pelabuhan Indonesia II (PT Pelindo II) berupa kerjasama usaha dengan PT Jakarta International Container Terminal (PT JICT),”  sebut Yudi.

Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar pun menjelaskan cara kerja BPK dengan mengatakan jika BPK sendiri memiliki proses yang ketat saat melakukan audit.

BPK kata Bahrullah, memiliki inspektor utama yang bertugas sebagai pemeriksa kembali hasil audit yang dilakukan para auditor.

Tak hanya itu saja, inspektor utama BPK juga memeriksa etika dari para auditor tersebut, langkah ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya kecurangan yang kemungkinan dilakukan para auditor.

Bahkan kini, BPK  memperketat kembali proses audit yang dilakukan.

Sedangkan cara kerja BPK kata Bahrullah yakni mandatory, dengan melakukan pemeriksaan keuangan negara kepada seluruh entitas yang memakai uang negara.

Pasca proses mandatory, lanjut dia bisa saja  kemudian ditemukan sebuah permasalahan yang dapat ditelusuri.

Proses mandatory sendiri dilakukan  dengan tiga hal, yakni audit laporan keuangan, audit kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu.

“Sesuai  prosedurnya memang sudah setiap tahun kami alokasikan porsinya untuk mengaudit ini,” jelas Bahrullah.

Pada pertengahan semester pertama, BPK sendiri akan disibukan dengan kegiatan mengaudit laporan keuangan.

“Jika kemudian ditemukan kasus akan saya katakan ada. Jadi banyak hal mungkin teman-teman tidak tahu. Audit laporan keuangan kami ada beberapa yang mengindikasikan kerugian negara, baik di kementerian maupun di daerah,” papar Bahrullah.


Tetapi nantinya sambung Bahrullah dapat ditindaklanjuti lagi dengan tujuan tertentu. “Jadi adanya kasus ini timbul karena mandatory BPK, jadi bukan karena kerjaan kami cari kasus, tidak. Karena tujuan BPK yakni mendorong pemerintah tertib, administrative,” jelas Bahrullah.

Mandatory kata dia kerjanya sederhana saja, setahun tiga kali. Pertama, Penyerahan ikhtisar hasil pemeriksaan semester I.

“Hanya di BPK Indonesia, kalau di luar negeri itu dua tahun anggaran diperiksa. Jadi beberapa negara yang terlambat, kalau kami tepat waktu. Jadi seluruh laporan ini, mandatory BPK Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I dan IHPS II, ditambah laporan keuangan pemerintah pusat ya, tiga kali pertemuan ke DPR dan juga ke pemerintah pusat. Jadi DPD, DPR dan pemerintah pusat atau presiden,” kata Bahrullah.

Hal ini bertujuan,  presiden sebagai eksekutif dan DPR memahami konstruksi laporan keuangan sebagai bahan tindak lanjut untuk yang berikutnya.

Di lapangan, kata dia kerja BPK itu memberikan rekomendasi-rekomendasi yang harus ditindaklanjuti dan dirampungkan.

Di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK sendiri sambung Bahrullah ada empat hal.

Pertama, jika LHP menunjukan adanya kesalahan administratif, maka BPK akan memberikan rekomendasi perbaikan kepada pihak manajemen.

Kedua, Kesalahan lantaran pengguna keuangan negara boros, “Seperti perjalanan dinas yang berlebihan dan segala macam. BPK akan katakan, lain kali buat program atau buat kegiatan yang efisien atau tidak boros,” kata dia.

Ketiga, Kelebihan atau kemahalan terhadap penilaian suatu belanja barang atau belanja modal. “Maka, kami bilang kembalikan uang itu,” ungkap Bahrullah.

Keempat, Fiktif atau mark up.

“Jika yang kemahalan itu, BPK menunjukan dari tahun 2005 atau 2010 itu sampai dengan sekarang, BPK mendorong pengguna keuangan negara mengembalikan kurang lebih Rp70 triliun. Itu BPK di sisi lain bisa dilihat dari kinerjanya. Jika ada fiktif atau mark up, maka ditindaklanjuti ke aparat penegak hukum, ke kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” jelas Bahrullah.

Setiap tahunnya kata Bahrullah  BPK memeriksa  1.000 entitas. Seperti Pemerintah daerah saja memiliki Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), kabupaten kota itu sekitar 514, kemudian ada 34 provinsi dan pemerintah pusat berjumlah 86.

BPK pun memeriksa keuangan para pengguna keuangan negara untuk memberikan opini. “Opini itu bukan maunya BPK, hal itu memang yang berlaku  untuk pertanggunjawaban pemerintahan dan tata kelola itu diperlukan, standard akuntansi. Sehingga harus comply dengan standard. BPK datang, lihat betul atau tidak comply dengan standar. Kalau betul kami berikan cap WTP,” jelas dia.

Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan auditor, kata dia  memiliki quality control.

“Sudah dilakukan. Jadi melekat embeded dalam sistem, auditor lagi meriksa akan periksa lagi. BPK memiliki inspektorat, quality assurance termasuk menyiapkan rancangan-rancangan pemeriksaan dalam satu tahun sehingga sampai akhirnya kami berikan opini kementerian, itu sudah bagian dari pencegahan sebenarnya,” ungkap Bahrullah.

Lebih lanjut Bahrullah mengatakan mekanisme Pemberian Opini di tiap-tiap Perwakilan BPK untuk menjaga Quality assurance dan Quality control

“Terkait pemberian opini, di BPK Perwakilan :Pertama. ada SK Tim Review LKPD terdiri 10 orang. Kedua tim review inilah yg menetapkan opini LKPD suatu Pemda. Ketika, Kalaupun ada beda pendapat di tim review, hal tersebut akan dibawa ke BPK Pusat untuk dimintakan pendapat. Keempat,  BPK pusat mempunyai Tim review, yang bertugas selain mereviuw akibat dipute di daerah, juga mereview LKPD yang meningkat menjadi WTP,” urai Bahrullah.

Dalam bekerja sambung dia BPK tidak sembarangan lantaran diperiksa kantor akuntan publik yang dipilih DPR.

“Untuk kinerja, kami juga sudah ada kesepakatan, setiap lima tahun sekali, kinerja diperiksa oleh BPK luar negeri, ini amanat UU. Jadi sudah 15 tahun kami diperiksa. Pertama diperiksa BPK New Zealand, kedua Belanda, terakhir Polandia. Tahun 2018 nanti juga tergantung DPR,” pungkas Bahrullah.

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs