Jakarta, Aktual.com – Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengungkapkan bahwa pola-pola penjajahan dan tidak berkeadilan terhadap eksploitasi pertambangan emas di Papua telah sejak lama dipertontonkan oleh Freeport.
Adapun hal terbaru pada 28 September 2017, Freeport-McMoran Copper and Gold Inc melayangkan surat ketidaksepakatan terkait proposal divestasi yang diajukan pemerintah, merupakan upaya mempertahankan dominasi untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia secara tak terkendali.
“Padahal divestasi saham Freeport kepada pemerintah Indonesia adalah sebuah keharusan sebagaimana yang termuat dalam Kontrak Karya (KK) dan Berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia,” kata Daeng di Jakarta, Rabu (11/10).
Dia menguraikan, pertama; pada Pasal 24 angka 2 KK menentukan sewaktu-waktu selama jangka waktu yang telah ditetapkan dalam pasal ini, perusahaan akan menawarkan untuk dijual atau menyuruh menawarkan untuk dijual saham-saham dari modal saham perusahaan guna mendukung kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam mendorong kepemilikan perusahan Indonesia oleh pihak nasional Indonesia sebagaimana diatur dalam angka 2 Pasal 24 ini.
Kemudian dalam Kontrak Karya (KK) Pasal 24 angka 2 huruf b mengharuskan perusahaan untuk menjual atau berusaha menjual pada penawaran umum di Bursa Efek Jakarta atau dengan cara lain kepada pihak nasional Indonesia dengan saham-saham yang cukup pada tahun ke 5 sebesar 10persen; setelah ulang tahun tahun ke10 secara periodik menawarkan kepada pihak nasional sehingga pada ulang tahun ke 20 (tahun 2011) mencapai 51 persen terhitung sejak tanggal persetujuan ini pada tanggal 30 Desember 1991.
Lalu dalam MOU 25 Juli 2014 berdasarkan butir butir kesepakatan amandemen KK antara Pemerintah Indonesia dengan PT FI hanya diwajibkan melakukan divestasi saham kepada pihak Pemerintah Indonesia sebesar 30 persen sampai Tahun 2019.
Namun kemudian Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka ‘gerban tol’ bagi Freeport untuk beralih dari KK menjadi IUPK melalui penandatanganan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan keempat PP Nomor 23 Tahun 2010.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka