Dalam perang senyap yang dilancarkan negara-negara adikuasa baik dari kawasan Amerika Serikat dan Eropa Barat maupun Jepang dan Cina di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, ada sebuah sub-budaya yang secara sadar dan terencana ditanamkan ke benak masyarakat Indonesia. Kebudayaan kosmopolitan yang yang mendukung dan mengembangkan Nihilisme Nasional. Sebuah cara pandang dan pola pikir yang menganggap rasa nasionalisme dan patriotisme sudah tidak penting lagi.
Kebudayaan kosmopolitan yang beralaskan paham nihilisme nasional ini, secara sistematis dan terencana dikembangkan ke beberapa instansi resmi pemerintahan baik pusat maupun daerah, swasta maupun perorangan.
Dengan begitu, sejatinya soal maraknya kebudayaan kosmopolitan yang berlandaskan paham nihilisme nasional, bukan sekadar soal marahknya gaya hidup hedonisme dan konsumerisme semata. Lebih dari itu, merupakan sistem perongrongan terorganisir dan sistematis terhadap ketahanan nasional negeri kita.
Hal ini bisa kita lihat secara terang-benderang melalui kasus Reklamasi Teluk Jakarta maupun Mega Proyek Meikarta. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan kosmopolitan dan nihilisme nasional tersebut?
Yaitu adanya gerakan berstrategi, berencana dan berprogram untuk merubah dan menghancurkan budaya dan kearifan lokal suatu daerah, sehingga muncul budaya baru yang memudahkan masuknya kapitalisme asing dan gaja hidup hedonism kota besar atas nama arus globalisasi.
Tren ini semakin menguat beroperasi bukan saja di sektor ekonomi, melainkan juga di sektor kebudayaan. Hal ini ditandai dengan ,makin maraknya peran penting dari yang namanya para konseptor Pengembangan Budaya. Gejala ini sudah terlihat rancangan skemanya pada akhir musim panas 1998.
Mereka-mereka ini teridiri dari para pakar berbagai bidang keilmuan, yang dipandu melalui satu gagasan pokok: Negara-Negara Berkembang hanya bisa maju, kalau mengikuti pola pemikiran, nilai-nilai dan sikap yang diterapkan negara-negara di Amerika, Kanada dan Eropa Barat.
VIsi-misinya adalah: Mengintegrasikan perubahan budaya ke dalam pembangunan politik-ekonomi yang berkonsep, berstrategi, berencana dan berprogram. Maka apa yang terlihat secara kasatmata melalui fenomena penggusuran Kalijodo, Luar Batang dan Pasar Ikan, dalam konteks kasus Reklamasi, maupun dilancarkannya Mega Proyek Meikarta yang menyasar beberapa wilayah yang merupakan mata-rantai Propinsi Jawa Barat, sejatinya hanya merupakan pilot project atau proyek perintis belaka.
Strateginya, mendukung elemen-elemen strategis suatu negera, yang bermaksud memprakarsai perubahan budaya, sehingga model perekonomian liberal, demokrasi liberal berbasis multi-partai parlementer, persaingan dalam dunia usaha dan sebagainya. Dapat diarahkan sebagai sebuah landscape baru dalam sistem kenegaraan kita.
Para palkar berbagai bidang keilmuan yang diplot untuk mempromosikan kebudayaan kosmopolitan berbasis nihilisme nasional itu, maka inilah yang disebut Para Tukang Tadah Kebudayaan.
Kerangka kerja untuk mendukung gerakan yang diprakarsai para kapitalis global tersebut, sudah direncanakan sejak lama. Pada tataran global, Lawrence E Harrison dan Samuel Huntington, sudah merancang hal ini sejak musim panas pada 1998 lalu. Melalui simposium yang digelar oleh Harvard University’s Academy for International and Area Studies.
Secara lengkap hal ini bisa disimak dalam buku yang disunting Huntington dan Harrison, Kebangkitan Peran Budaya, Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Yang amat mengganggu dan tersirat dalam buku ini adalah: Tidak mungkin anda bisa jadi bangsa yang maju sekaligus tetap berkepribadian sesuai dengan tradisi dan budaya bangsanya sendiri. Jelas ini adalah benih-benih lahirnya imperialisme kebudayaan.
Buku yang aslinya bertajuk Culture Matters: How Values Shape Human Progress, saya kira sudah cukup menjelaskan terjadinya liberalisasi ekonomi politik besar besaran menyusul kejatuhan Suharto pada Mei 1998 dan berawalnya era reformasi. Segalanya memang serba berencana dan berprogram. Fakta bahwa UUD 1945 produk cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 sejatinya sekarang sudah berubah menjadi UUD 2002 yang kodratnya sudah berubah menjadi liberal.
Di sinilah para tukang tadah kebudayaan akan memainkan peran penting sebagai agen-agen pembentuk ideologi yang berbasis budaya kosmopolitan dan nihilisme nasional.
Agresi kebudayaan negara asing seperti Amerika, pernah dilancarkan pada era 19600an melalui penerbitan-penerbitan buku yang disponsori oleh sebuah lembaga nir laba berna Franklin Foundation. Melalui beberapa penerbitan yang dibiayai oleh Franklin Foundation, agresi kebudayaan asing pun dilancarkan untuk melumpuhkan Skema Trisakti Bung Karno(Berdaulat Dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan).
Maka itu menarik untuk mengakhiri coretan singkat ini, dengan mengutip kembali artikel sastrawan sohor Indonesia, Pramudya Ananta Toer. “Kita tahu bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari kristalisasi kreatif yang telah dicapai oleh suatu taraf perkembangan ideolologi. Setiap tindak penadahan kebudayaan setan(budaya kosmopolitan dan nihilisme nasional) secara langsung merupakan tindak sabotase terhadap kristelisasi kreatif tersebut pada satu segi, dan terhadap manifestasinya pada segi yang lain.” Demikian tulis Pram dalam artikelmya di Harian Bintang Timur 9 Mei 1965.
Penglihatan tembus pandang Pram sebagai budayawan yang sangat kuat kemampuan intuitifnya dalam membaca gelagat jaman di era itu, pada gilirannya bukan saja berakibat buruk di sektor kebudayaan itu sendiri. Melainkan juga di ranah politik nasional.
Sebab melalui peran sentral Para Tukang Tadah Kebudayaan tersebut, maka secara politik kemudian terbentuklah sebuah golongan tertentu di dalam masyarakat, dengan Ideologi Tukang Tadah. Suatu golongan yang menjadi tawanan jinak kekuatan-kekuatan imperialisme. Sehingga pada perkembangannya kemudian mereka sendiri kemudian melucuti militansi dan rasa nasionalisme-patriotisme dalam melawan agresi asing di bidang ideologi, politik-ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan.
Michail Bukanin, dalam salah sebuah bukunya bertajuk Statisme dan Anarki, Bakunin menyorot sebuah kejadian maha penting di Eropa pada 1870, ketika dia penasaran dan tidak habis pikir bagaimana ceritanya Prancis yang begitu digdaya secara militer, bisa dengan mudah takluk pada tentara Jerman. Apa karena Jerman lebih unggul di bidang teknologi militer? Menurut Bakunin sama sekali tidak. Keunggulan militer kedua negara ini sama kuat.
Menurut Bakunin, kesadaran borjuis dan gaya hidup hedon masyarakat perkotaan Prancis yang berasal dari bangawan pemilik tanah dan bangsawan pemilik uang itulah yang jadi biang keladi kekalahan Prancis.
Kesadaran borjuis dan gaya hidup hedon masyarakat perkotaan prancis, pada perkembangannya merupakan faktor penyebab matinya rasa patriotisme dan nasionalisme Prancis yang terkenal itu. Celakanya, kesadaran borjuis dan gaya hidup hedon inilah yang menjadi dasar terbangunnya peradaban perkotaan di Prancis.
Dan di sinilah, menurut Bakunin, siapa yang punya kuasa kepemilikan terhadap sektor properti, maka mereka inilah yang mempunyai kuasa dan pengaruh membentuk peradaban perkotaan di Prancis.
Menurut Bakunin, tak akan ada revolusi tanpa semangat untuk menghancurkan sesuatu yang buruk, untuk kemudian membangun hal baru yang lebih baik dan bermanfaat. Sebab hanya melalui proses itulah, dunia baru bakal lahir dan bangkit. Tak mungkin ada kebangkitan, tanpa kiamat lebih dahulu. Mungkin begitulah dalam bahasa lain dari saya.
Namun, menurut Bakunin, kesadaran borjuis dan gaya hidup hedon sebagai landasan terbentuknya peradaban perkotaan di Prancis, justru menghindarkan diri dari gagasan penghancuran untuk kebaikan dan kemanfaatan itu.
Bagi warga Prancis yang kala itu sangat didominasi oleh peradaban borjuis yang pada saat sama masih dipengaruhi juga oleh watak feodalisme dalam peralihan dari bangsawan pemilik tanah ke bangsawan pemilik uang, maka tidak ada semangat patriotisme dan nasionalisme tersebut. Inilah yang saya maksud dengna nihilisme nasional.
Ketika tentara Jerman memasuki wilayah Prancis, baik perkotaan maupun desa, mereka lebih baik menyerah kalah daripada meriskir kehancuran wilayah-wilayah perkotaan di Prancis.
Demi menjaga harta benda dan kekayaan plus gaya hidup enak dan nyaman, mereka lebih baik menggadaikan kebebasan dan kedaulatan nasionalnya. Daripada kehilangan harta benda.
Mereka tidak setuju jika dengan tetap berperang melawan Jerman,terjadi penghancuran kota dan rumah tempat tinggal mereka. Sehingga dengan cara pandang dan pola pikir seperti itu, Prancis akhirnya menyerah dengan begitu mudah terhadap invasi Jerman.
Dalam hal ini, menurut Bakunin, Jerman menjadi negara penakluk yang amat beruntung. Menariknya, Bakunin menyimpulkan situasi ini dengan kalimat singkat: “Kita telah melihat bahwa kepemilikan properti sudah cukup untuk merusak petani Prancis dan memadamkan percikan terakhir patriotismenya.”
Ya, properti sebagai unsur bendawi yang membentuk watak ideologis budaya kosmopolitan dan nihilisme nasional, tidak boleh dipandang enteng. Sehingga Mega Proyek Meikarta maupun Reklamasi Teluk Jakarta yang notabene secara kasatmata merupakan proyek ekonomi-bisnis, sejatinya merupakan agresi kebudayaan.
Dan celakanya, di negeri kita sendiri, serangan agresi kebudayaan asing tersebut sidah bersiap para Tukang Tadah Kebudayaan untuk menyambut kedatangan para aggressor asing tersebut secara sukarela.
Hendrajit, Redaktur Senior.