Pekerja menggarap pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) Tingkat Tinggi Pasar Rumput di Jakarta, Rabu (15/11). Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejati DKI Jakarta mengawal 119 proyek infrastruktur dengan nilai Rp 4,6 triliun untuk memastikan proyek-proyek pembangunan berjalan sesuai ketentuan yang ada sehingga tidak terjadi kerugian negara. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak bersungguh-sungguh membangun infrastruktur untuk kemakmuran rakyat. Mantan aktivis 98 ini pun menyebut program ini sebagai sarana untuk meraih popularitas belaka.

Menurutnya, kalau memang pembangunan infrastruktur dilakukan dengan serius dan tepat sasaran, setidaknya program ini dapat menyerap banyak tenaga kerja. Tapi yang terjadi justru penyerapan tenaga kerja dalam pembangunan infrastruktur sangatlah minim.

“Niatnya itu terlalu sederhana yaitu mengejar popularitas disektor pembangunan infrastruktur. Untuk disebut sebagai pemerintah yang berani membangun infrastruktur, maka efek lain tidak dipertimbangkan,” ujar Fahri saat dihubungi Aktual di Jakarta, Minggu (3/12).

Sekedar Informasi, Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mencatat penyerapan tenaga kerja dari sektor konstruksi masih sangat kecil. Tak hanya itu, penyerapan tenaga kerja oleh sektor ini juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tiga tahun ini.

Tercatat, penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi pada tahun 2015 sebesar 7,72 juta jiwa atau sekitar 6,39 persen.

Tahun 2016 penyerapan tenaga kerja sektor ini sebesar 7,71 juta jiwa atau turun 0,01 juta jiwa. Kemudian pada 2017, sektor konstruksi hanya menyerap 7,16 juta jiwa.

Selain itu, indikasi lainnya adalah pembangunan infrastruktur juga terkesan dipaksakan tanpa memperhitungkan hal-hal lainnya, khususnya kesehatan fiskal negara.

“Padahal tidak ada satu kebijakan ekonomi pun yang gampang dan semudah mengembalikan telapak tangan sebab ekonomi adalah satu sains atau ilmu pengetahuan yang cara menghitungnya sangat logis,” ujar lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) ini.

Alhasil, berbagai kebijakan yang mengesankan pemerintah sedang panik pun dilakukan untuk mengejar setoran, di antaranya adalah tax amnesty dan dicabutnya subsidi listrik.

Belum lagi dengan utang yang terus meningkat. Menurut Bank Indonesia, pada Triwulan II-2017, utang luar negeri Indonesia tercatat USD 335,3 miliar atau setara Rp 4.478,9 triliun.

Angka utang ini tumbuh sebesar 2,9 % dari periode yang sama tahun lalu. BI mengklaim rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih aman karena tercatat stabil di kisaran 34 % pada Agustus 2017 lalu.

Belum lagi dengan bobolnya Badan Penjamin Jaminan Sosial (BPJS) dalam APBN. Sejak 2014 hingga tahun ini, defisit BPJS terus mengalami peningkatan, dari Rp 3,3 triliun (2014), Rp 5,7 triliun (2015) hingga membengkak Rp 5,6 triliun pada Semester I 2017.

Dengan demikian, Fahri menilai jika program infrastruktur telah mengorbankan banyak hal yang justru sangat bermanfaat untuk masyarakat luas.

“Kita pencet di sana, keluar di sini, kita tambah, ini berkurang. Kita kurangi ini bertambah dan seterusnya. Saya rasa ini yang menjadi penyebab dari banyak korban pembangunan infrastruktur ini,” tandas Fahri.

(Reporter: Teuku Wildan)

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Eka