Minyak dunia naik, DPR ingatkan Pertamina agar waspada terhadap program BBM satu harga. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pergerakan harga minyak dunia yang terus merangkak hingga di kisaran USD60 per barrel akan menjadi hal yang tidak mengenakan bagi rakyat menyambut tahun baru 2018 jika pemerintah merespon dengan menaikan harga Premium dan Solar.

Untungnya pemerintah telah menetapkan tidak akan ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis penugasan (Premium Ron 88) dan BBM tertentu (Minyak Tanah dan Minyak Solar) hingga 31 Maret 2018, namun kenaikan BBM jenis umum tak bisa dikontrol oleh pemerintah karena diluar ketentuan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM), sebagaimana yang telah diubah dengan Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2015.

Lalu adapun alasan pemerintah menahan kenaikan harga BBM jenis penugasan dan tertentu tersebut, lantaran mempertimbangkan daya beli masyarakat yang masih tertekan.

“Pertimbangkan daya beli masyarakat, Pemerintah memutuskan bahwa harga BBM untuk 1 Januari sampai 31 Maret 2018 tetap,” kata Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Tetapi Pertamina telah menjerit atas kebijakan pemerintah yang dibebankan kepada pertamina baik berupa BBM penugasan, maupun program BBM Satu Harga. Kendati tahun ini ditargerkan pelaksanaan BBM Satu Harga hanya pada 54 titik, namun biaya distribusi yang lebih mahal dari harga jual serta dilakukan secara berkelanjutan membuat keuangan Pertamina menjadi ‘morat-marit’.

“Anomali yang terjadi di mana BBM PSO (public service obligation) yang subsidinya seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah, sekarang tidak lagi, tetapi ditanggung oleh Pertamina, begitu juga dengan penentuan harga BBM yang seharusnya dilakukan setiap 3 bulan, tapi tidak dilakukan (kenaikan), akibatnya cash flow Pertamina terganggu,” kata Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Noviandri.

Karenanya Noviandri menita pemerintah melihat dengan saksama atas penugasan dari pemerintah yang dibebankan kepada BUMN itu, dia menkhawatirkan Pertamina hanya dijadikan korban dan tunggangan politik pribadi oleh pejabat negara.

“Apabila ini memang untuk kepentingan rakyat, tentunya sangat baik sekali sesuai dengan cita-cita berdirinya BUMN ini, tapi kalau ini (BBM Satu Harga dan BBM penugasa) merupakan sebagai pencitraan Pemerintah menjelang 2019, bisa dikategorikan sebagai suap Politik,” sesal Noviandri.

Selain itu Noviandri juga mengungkapkan piutang Pertamina kepada pemerintah mencapai Rp30 triliun, dia meminta pemerintah segera membayar piutang ini agar Pertamina dapat menjalankan bisnisnya dengan baik. Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pihaknya masih menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas nominal yang masih simpang siur. Kendati demikian dikatakan Sri; pemerintah juga akan melihat kemampuan keuangan negara yang memang sedang membutuhkan jumlah dana besar untuk penyelesaian pembangunan proyek infrastruktur.

“Cara kami untuk selesaikan pembayaran kalau berhubungan dengan policy adalah sesudah pengeluaran Pertamina diaudit BPK,” kata dia.

Beban penugasan yang dipikul oleh pertamina ini dijadikan alibi utama oleh pertamina atas anjloknya perolehan laba. Pada Semester pertama 2017 laba bersih Pertamina mengalami penurunan, BUMN ini hanya meraih laba bersih USD1,4 miliar, turun 24% dibandingkan semester pertama 2016. Kemudian Pada triwulan III tahun 2017 laba Pertamina kembali anjlok hingga hanya mampu membukukan sebesar USD1,99 miliar atau Rp 26,8 triliun (kurs Rp 13.500/USD) dibanding triwulan yang sama tahun 2016 sebesar USD2,83 miliar.

“Kebijakan harga ditentukan pemerintah. Pertamina kan milik pemerintah 100%. Kita bisa lihat gambarannya secara objektif. Di tahun 2016, kuartal III harga crude Indonesia price rata-rata sembilan bulan di 2016 itu USD 38 atau USD 37,88. Tapi 2017 rata-rata selama sembilan bulan naik 30%,” kata Direktur Utama Pertamina, Elia Massa Manik.

“Tentu harga naik ini kita tentunya tadinya berharap ada penyesuaian harga sesuai kesepakatan per tiga bulan. Sesuai formula, mestinya revenue kita ada di USD 38 billion. Karena tidak disesuaikan jadi hanya USD 31,38 billion. Ini hampir USD1,5 miliar atau sekitar Rp19 triliun. Jadi kita kekurangan revenue karena harga BBM (penugasan) tidak disesuaikan,” tambah Elia.

 

 

 

Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta