Jakarta, Aktual.com – Ramainya surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang ditemui pada sejumlah daerah harus menjadi perhatian serius pemerintah, penegak hukum dan lembaga pendidikan.

Hal ini dilontarkan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR, Reni Marlinawati dalam keterangan tertulis yang diterima Aktual, Senin (9/7).

“Keberadaan SKTM fiktif yang terjadi di sejumlah daerah untuk keperluan mendaftar sekolah harus dicermati secara serius oleh Pemerintah, pihak sekolah, dan aparat penegak hukum,” kata Reni.

Menurut Reni, keberadaan SKTM fiktif ini telah melibatkan orang tua, calon peserta anak didik, dan pihak aparat pemerintah yang mengeluarkan surat tersebut.

Karenanya, lanjut Reni, pemerintah harus mempertimbangkan untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum, mengingat massifnya praktik pembuatan SKTM fiktif ini.

“Jelas praktik ini melanggar etika, norma, dan hukum yang berlaku,” katanya.

Pemerintah dan lembaga pengelola pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi, harus membuat sistem yang memungkinkan tidak ada lagi praktik penggunaan SKTM fiktif.

Misalnya, membuat aturan bagi siapa saja yang sengaja membuat SKTM fiktif maka calon peserta didik atau calon mahasiswa akan dianulir hasil tes atau seleksi masuk di sekolah atau perguruan tinggi tersebut.

Praktik pembuatan SKTM fiktif ini telah merusak mental dan nalar para calon peserta didik. Praktik ini harus menjadi perhatian serius agar ke depan, tidak ada lagi praktik pembuatan SKTM fiktif yang jelas merugikan yang lainnya.

DPR akan mempertanyakan secara khusus atas praktik SKTM fiktif ini kepada pemerintah dengan harapan celah atas praktik tersebut dapat ditutup pada waktu-waktu mendatang. Di samping itu, mendorong pemerintah agar membuat sistem yang kukuh agar persoalan tersebut tidak muncul kembali.

Sementara itu, Ketua Fraksi PPP MPR, Arwani Thomafi berpendapat jika adanya SKTM fiktif merupakan indikasi belum terinternalisasi nilai Pancasila dengan baik.

Ia pun mengaku prihatin dengan temuan SKTM bodong ini.

“Fakta ini menegaskan soal nilai Pancasila tidak terinternalisasi dengan baik oleh orang tua maupun anak didik,” kata Arwani.

Menurutnya, sikap curang, manipulatif, serta membohongi diri sendiri sejatinya merupakan hal yang mendasar yang harus dihindari dalam kehidupan sehari-hari.

Ia menambahkan, pemerintah daerah dan pihak sekolah harus menjadikan praktik manipulatif ini untuk melakukan koreksi total dalam memperlakukan calon anak didik.

Proses verifikasi, kata Arwani, secara ketat harus dilakukan secara berlapis dengan memanfaatkan jejaring struktur pemerintahan mulai dari tingkat RT/RW, Desa, Kelurahan, Kecamatan hingga Kabupaten/Kota.

“Lebih dari itu pengajaran bidang agama dan Pancasila semestinya tidak sekadar formalitas pemenuhan mata pelajaran, lebih dari itu penguatan karakter anak didik harus senantiasa dilakukan secara berkesinambungan,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan