Jakarta, Aktual.com – Stunting atau kekerdilan dinilai menjadi ancaman nyata bagi bonus demografi Indonesia yang ditargetkan pada 2030.

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Niken Widiastuti di Jakarta, Rabu.

“Anak stunting tidak hanya dialami oleh keluarga yang miskin dan kurang mampu, tetapi juga dialami oleh keluarga yang tidak miskin yang berada di atas 40% tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi,” ujar Niken.

Untuk menanggulangi angka stunting di Indonesia, pemerintah memasukkan penurunan stunting menjadi target Program Kerja Menengah Nasional Pemerintah 2015-2019.

“Masyarakat belum banyak yang mengenal apa itu stunting. Pertumbuhan anak yang terhambat sering dianggap sebagai faktor keturunan saja sehingga diabaikan,” tambah dia.

Niken menghimbau, orang tua perlu memantau proses tumbuh kembang anak terutama di masa 1.000 hari pertama kehidupan. Hidup bersih dan sehat merupakan salah satu kunci untuk memastikan pertumbuhan anak yang maksimal agar anak dapat terhindar dari stunting.

Stunting dapat menjadi ancaman bagi generasi Indonesia di masa depan jika tidak segera dicegah. Indonesia akan melewatkan masa bonus demografi hingga tahun 2030 dengan tidak optimal karena tidak dapat menciptakan generasi emas Indonesia,” lanjut Niken.

Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun.

Masyarakat diimbau untuk mengenali tanda-tanda anak mengamami stunting yaitu antara lain, anak bertubuh lebih pendek untuk anak seusianya, Proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda atau kecil untuk usianya, pubertas terlambat dan performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar.

Salah satu wilayah di Indonesia dengan angka stunting tertinggi adalah kabupaten Ogan Komering ilir (OKI) yang menurut Riskesdas Tahun 2013 mencapai 40,5% atau hampir setengah balita di OKI mengalami stunting. Bahkan, angka ini di atas angka stunting nasional 37%.

Semakin muda usia perkawinan, semakin besar risiko melahirkan bayi stunting. Kasus stunting yang terjadi di keluarga miskin sebesar 48,4 persen dan pada keluarga kaya sebesar 29,0 persen.

Permasalahanya, papar Niken para ibu sering kali memiliki pengetahuan yang minim dalam pengasuhan anak sejak dalam kandungan. Faktanya saat ini 60 persen dari anak usia 0 – 6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif. Sebanyak dua hingga tiga anak usia 0 – 24 bulan tidak menerima MP ASI.

Data lain menyebutkan dua hingga tiga ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai. Sebanyak 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di 2007 menjadi 64% pada 2013), menjadikan program-program kesehatan dari pemerintah untuk anak usia dini seringkali tidak diterima secara maksimal, termasuk di dalamnya program pelayanan imunisasi yang memadai.

“Jika stunting tidak segera ditanggulangi maka bonus demografi ini akan menjadi sia-sia. Indonesia hanya akan memiliki banyak generasi muda yang tidak produktif. Hal ini dikarenakan stunting akan menghasilkan generasi yang serba kekurangan,” kata Niken lagi.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan