Jakarta, Aktual.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap konsisten menerapkan kebijakan ekonomi dari sisi penawaran (supply-side) hingga akhir masa pemerintahan.
Menurut Darmin di Jakarta, Rabu (5/12), hasil dari kebijakan “supply-side” pada era Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla selama empat tahun belakangan terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang stabil di tengah gejolak ekonomi dunia.
Hal tersebut juga diikuti oleh indikator sosial yang juga membaik, seperti tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, rasio gini, hingga Indeks Pembangunan Manusia (IPM). “Artinya, semua kebijakan sudah mengarah pada pembangunan yang berkualitas. Ini capaian yang baik, mengingat biasanya pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti dengan perbaikan keadaan sosial. Hal ini adalah suatu prestasi yang baik,” ujar Darmin saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2019.
Keputusan untuk memprioritaskan kebijakan ekonomi “supply-side” sudah dilaksanakan sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi-JK, melalui perbaikan infrastruktur, perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM), dan kebijakan reforma agraria. Kebijakan “supply-side” ini selain lebih mudah dikendalikan, juga mampu membuka kesempatan bagi seluruh masyarakat secara merata di pedesaan dan perkotaan.
“Pendekatan ini dapat diwujudkan tanpa ada perpindahan barang dan jasa secara besar-besaran ke luar ataupun ke dalam negeri. Namun, kebijakan demand-side tidak boleh dilupakan dengan tetap mendorong investasi dan konsumsi masyarakat,” ujar Darmin.
Darmin menegaskan, fokus kebijakan “supply-side” terus digalakkan untuk memberikan “multiplier effect” yang besar, yang terus diselaraskan dengan program pemerataan ekonomi. Infrastrukur akan melahirkan kegiatan-kegiatan baru yang ditransformasikan dari kegiatan lama. Sistem logistik, lanjutnya, juga perlu dibangun juga setelah infrastruktur tersedia. Hal tersebut dapat direalisasikan dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah supaya membuat pasar pengepul agar konektivitas terbentuk secara sempurna kata Darmin. Menanggapi perang dagang Amerika Serikat dan China dan implikasinya ke perekonomian nasional, Darmin memprediksi proyeksi ekonomi Indonesia masih bergantung pada interaksi perang dagang itu sendiri.
Darmin menduga pada 2019 tidak ada lagi interaksi AS-Cina yang yang esktrem. Bahkan, kedua negara akan sadar bahwa perang dagang hanya akan berimplikasi negatif pada perekonomian masing-masing negara.
“Dengan begitu, kami optimis ke depan tingkat inflasi masih berada di titik aman yakni berada level tiga persen. Kami juga melihat bukan sesuatu yang berat untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi di level 5,3 persen, sesuai dengan asumsi makroekonomi APBN 2019,” ujar Darmin.
Ketua Asosiasi Pengusaha Kebijakan Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana menambahkan, perekonomian Indonesia telah bergeser menjadi seperti negara Singapura, di mana nilai tambah sektor pertanian dan manufaktur menurun seiring dengan peningkatan sektor jasa. Namun, peningkatan sektor jasa ini belum mampu menyerap tenaga kerja yang melimpah di pasar tenaga kerja.
“Penurunan nilai tambah sektor manufaktur ini mengindikasikan ada deindustrialisasi secara prematur. Dengan begitu, transformasi ekonomi ini diperlukan untuk dapat terus digalakkan oleh pemerintah agar tetap menyerap tenaga kerja,” ujar Danang.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: