Jakarta, aktual.com – Persoalan gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang kian membengkak, dari Rp802 miliar pada Oktober 2018 menjadi Rp12,4 triliun pada akhir 2019, dinilai disebabkan oleh salah satu faktor, yakni ‘kecolongan’ pengawasan.

Itu artinya, sistem pengawasan yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap perusahaan asuransi Jiwasraya bisa dikatakan bobrok. Pasalnya Jiwasraya, gagal bayar Rp 12,4 triliun polis asuransi JS Saving Plan periode Oktober-Desember 2019, milik nasabah dalam dan luar negeri.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyebutkan, pengawasan berlapis oleh berbagai lembaga pengawas seperti OJK, harusnya bisa mencegah kasus gagal bayar ini terjadi.

“Namun faktanya tetap saja lolos dari pengawasan,” kata Eko ketika dihubungi wartawan, Senin (13/1).

Beberapa faktor mendukung kelengahan OJK, antara lain kelalaian dalam melihat indikasi persoalan di Jiwasraya, padahal OJK memiliki kewenangan super untuk mengawasi lembaga keuangan. Juga, boleh jadi karena jangkauan aturan atau Undang-undang, yang tidak mampu mendeteksi persoalan awal Jiwasraya.

“Bisa juga ada faktor tata kelola pengawasan yang berantakan, maupun kesengajaan/pembiaran,” kata Eko.

Menurut dia, tidak mungkin bila Jiwasraya tidak ada persolan sampai-sampai ada persoalan gagal bayar. Terutama, dalam hal pengawasan yang tidak dijalankan dengan optimal.
Oleh karena itu, ditegaskan Eko, audit investigasi BPK sangat penting untuk mendalami persoalan secara keseluruhan.

Meski tidak bisa ditumpukan semua ke OJK, namun setiap rantai pengawasan harus bertanggung jawab, mulai dari pengawasan internalnya, hingga lembaga auditnya.
“Termasuk kelemahan-kelemahan pengawasan yang selama ini dilakukan oleh berbagai entitas/lembaga pengawas tersebut, termasuk OJK,” katanya.

BPK mencatat kerugian sementara PT Asuransi Jiwasraya karena penurunan nilai saham di produk reksadana yang ditempatkan, mencapai Rp6,4 triliun. BPK menyebutkan, ada lebih dari lima ribu transaksi yang beragam dari saham dan reksa dana.

Mayoritas dana premi dari produk asuransi dan investasi Jiwasraya yakni JS Saving Plan, diinvestasikan di instrumen saham dan reksadana saham berkualitas rendah. Berdasarkan hasil sementara pemeriksaan yang dilakukan BPK, Jiwasraya berinvestasi di saham tanpa dasar data yang valid dan objektif.

Menteri BUMN Erick Thohir menegaskan aparat hukum akan mengusut oknum-oknum yang bertanggung jawab atas permasalahan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Kasus hukum yang melibatkan oknum-oknum akan diusut tuntas oleh pihak Kejaksaan Agung.

Pernyataan Erick tersebut sejalan dengan rekomendasi dari Komisi VI DPR yang meminta penegak hukum dan pemerintah mencekal jajaran Direksi Jiwasraya periode 2013-2019. Anggota dewan menilai manajemen lama bertanggung jawab terhadap permasalahan tunggakan klaim nasabah Jiwasraya.

Sementara penegakan hukum berjalan, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan akan melakukan upaya restrukturisasi dalam tubuh Jiwasraya.

Temuan sementara, terdapat pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Pasalnya, manajemen Jiwasraya banyak menempatkan investasi pada aset-aset berisiko. Ini berimbas potensi kerugian negara paling sedikit Rp13,7 triliun dari penempatan investasi Jiwasraya.

Secara rinci, manajemen Jiwasraya menaruh 22,4 persen dana investasi atau senilai Rp5,7 triliun di keranjang saham. Dari dana kelolaan di saham, 95 persen ditempatkan pada saham-saham buruk. Hanya, 5 persen saja yang ditaruh di saham dengan kinerja baik.

Pun sama halnya dengan penempatan investasi di reksa dana. Tercatat, 98 persen dari dana investasi di reksa dana atau senilai Rp14,9 triliun dititipkan pengelolaannya kepada perusahaan-perusahaan manajer investasi dengan kinerja buruk. Hanya 2 persen yang dikelola oleh perusahaan manajer investasi dengan kinerja baik.

“BPK akan mencari kerugian negara yang ditimbulkan dari apa yang terjadi di Jiwasraya, Kejaksaan akan memproses secara hukum,” tegas Erick.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin