Jakarta, Aktual.co —Menteri BUMN Rini Soemarno dan Komisi VI DPR baiknya pelajari kembali skema perang asimetris asing dalam melumpuhkan Indonesia melalui sarana-sarana non militer. Seperti lepasnya kepemilikan saham mayoritas Indosat ke tangan Temasek Holding, Singapore.

Ada yang mengkhawatirkan di balik kesepakatan bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara(BUMN) dan Komisi VI DPR untuk menjalankan program privatisasi BUMN melalui penerbitan saham baru dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) alias rights issue. Kesepakatan  tetap berbahaya  meski  mayoritas fraksi di DPR mendesak pemerintah agar berupaya menghentikan adanya kepemilikan saham asing di perusahaan BUMN yang melantai di bursa saham.  Karena skema privatisasi BUMN, bagaimanapun juga berakar pada skema Liberalisasi Ekonomi yang digariskan oleh Bank Dunia dan Dana  Moneter Internasional (IMF). 

Selain itu, kesepakatan Kementerian BUMN dan Komisi VI ini tetap harus dibaca sebaga “Lonceng Tanda Bahaya” mengingat ketiga BUMN yang menjadi sasaran privatisasi merupakan sektor strategis (PT Antam Tbk, PT Adhi Karya Tbk, dan PT Waskita Karya Tbk). Karena bagaimanapun juga, privatisasi BUMN pada perkembangannya akan jadi pintu masuk penguasaan swasta asing terhadap mayoritas kepemilikan saham BUMN kita.

Mari kita kembali tumpukan berita lama, terkait cerita masuknya kepemilikan saham asing terhadap PT Indonesia Satelite Corporation Tbk (INDOSAT). Pada 13 Desember 2002, dari 4 calon investor yang ada, kemudian mengerucut pada 2 investor yang memasukkan penawaran akhir (final bid) penawaran pembelian saham Indosat. Kedua penawar tersebut adalah Singapore Technologies Telemedia (STT) dan Telekom Malaysia Bhd. Sedangkan beberapa kandidat lainnya, Desa Mahir Sdn, Bhd (Malaysia) dan Gilbert Global Equity Partner (dari Hongkong), dipastikan gugur.

Melalui proses ini terungkap betapa pengaruh asing sedari awal ikut bermain melalui keterlibatan Gita Wirjawan yang kala itu bekerja untuk Goldman Sach (sebuah perusahaan hedgefund dari Amerika Serikat) sekaligus sebagai penasehat keuangan STT. Memang ketika proses pembelian Indosat ini terjadi di era pemerintahan Megawati Sukarnoputri, Gita Wirjawan belum masuk jajaran kabinet, namun nampak jelas bahwa alumni ITB ini sudah memainkan peran yang cukup strategis meski dari belakang layar.

Sejak keberhasilannya membantu Temasek Holding memenangkan tender pembelian Indosat, maka Gita Wirjawan tercatat reputasinya sebagai salah satu spesialis jual beli aset negara. Tak heran jika pada perkembangannya kemudian, terutama di periode kedua pemerintahan Presiden SBY, Amerika Serikat sangat berkepentingan menempatkan “sang spesialis” dalam struktur pemerintahan Indonesia. Maka, Gita kemudian ditunjuk SBY sebagai menteri perdagangan.

Sekarang, pemerintahan Megawati dan SBY sudah berlalu, dan sosok Gita pun prospek poliitiknya tak secerah era-era sebelumnya. Namun, masih banyak Gita-Gita Wirjawan lain di negeri kita yang memainkan peran sebagai ‘spesialis” jual beli aset negara dengan gaji yang menggiurkan.

Komprador-komprador dengan tipologi macam Gita Wirjawan ini nampaknya tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, bahwa urusan jual beli aset negara kepada swasta asing seperti dalam kasus Temasek Singapore membeli Indosat, sejatinya bukan sekadar urusan ekonomi-bisnis belaka. Melainkan telah masuk dalam pendekatan skema perang asimetris yang dilancarkan oleh pihak asing.

Berarti, yang paling fatal dengan dilepaskannya mayoritas kepemilikan saham Indosat kepada Temasek adalah telah terjadinya bencana geopolitik di tanah air, bukan sekadar lepasnya kendali ekonomi atas Indosat. Betapa tidak. Selama ini Geopolitik seringkali hanya dimaknai sekadar sebagai tata cara dalam rangkap pemetaan (mapping) wilayah atau kawasan yang kaya akan sumberdaya alam(SDA). Padahal sesungguhnya bukan itu saja. Dalam lingkup yang lebih luas, elemen-elemen geopolitik ternyata selain meliputi SDA, geografi, demografi (Trigatra), juga meliputi Ideologi, Politik,  ekonomi,Sosial- Budaya dan Hankam (Panca Gatra).

Namun oleh karena perkembangan waktu, ada dua aspek lain yang tak kalah penting terkait geopolitik sebagai Ilmunya Ketahanan Nasional. Yaitu Telekomunikasi /Komunikasi dan Transportasi.

Pada tataran ini, Indosat  seharusnya sebelum diputuskan boleh tidaknya dijual mayoritas sahamnya kepada asing, disadari oleh para pemangku kebijakan luar negeri dan ekonomi bahwa telekomunikasi merupakan salah satu lingkup strategis dari Ketahanan Nasional bangsa Indonesia.

Ketika Presiden Suharto memutuskan untuk membangun “Stasiun Bumi” di Jatiluhur, Jawa Barat, sebagai infrastruktur pendukung satelit yang kemudian kita kenal sebagai Satelit Palapa, sejatinya didasari gagasan yang visioner dan jauh ke depan. Betapa dalam pandangan Suharto yang visioner dan jauh ke depan, abad 21 merupakan  abad ruang angkasa dengan teknologi satelit sebagai tulang punggungnya.

Satelit telah menjadi teknologi strategis karena memiliki fungsi sebagai indera pendengaran, indera komunikasi, juga penglihatan, bahkan bisa menjadi kaki dan tangan sebuah negara-bangsa. Bahkan di era pemerintahan Ronald Reagan ketika meluncurkan program Star Wars alias Perang Bintang melawan Uni Soviet, satelit dipandang sebagai aset strategis melalui pengembangannya sebagai teknologi militer dan alat utama sistem persenjataan yang cukup mematikan.

Bukti nyata bahwa satelit sebagai tulang punggungnya penguasaan negeri kita melaui ruang angkasa adalah dengan diberinya nama “Satelit Palapa”. Melalui pemberian nama Palapa, Suharto ketika itu seakan mau memparalelkan aspek maritim di era Kerajaan Majapahit dan Ruang Angkasa di era abad 21, sebagai sama-sama sebagai simbol kekuatan negara dalam menyatukan seluruh wilayah nusantara. Melalui sumpah Palapa yang diucapkan oleh Maha Patih Gajah Mada pada abad ke-14, melalui angkatan laut yang kuat, Majapahit berhasil menjadikan Nusantara sebagai “poros maritim” dunia sebagaimana Kerajaan Sriwjijaya pada abad ke-7.

Bagi Suharto, penguasaan lautan pada zaman Majapahit sama strategisnya dengan penguasaan angkasa pada abad 21. Ketika Indonesia belum mampu menggarap secara maksimal potensi ekonomis kekayaan angkasanya, melalui teknologi komunikasi yang bernama Satelit Palapa, wilayah udara Indonesia menjadi “jalan tol” lalu lintas saluran TV, telepon, dan Internet bagi milyaran akses dan transaksi antar manusia, perusahaan maupun negara setiap tahunnya. Belum lagi lalu lintas pesawat-pesawat udara komersial yang lalu lalang melintas. Bayangkan berapa nilai rupiahnya dalam setahun.

Ketika Indosat dengan begitu saja dilepas mayoritas kepemilikan sahamnya kepada Temasek, para “pemangku kepentingan” kita di bidang telekomunikasi dan komunikasi  tidak menyadari bahwa satelit adalah ibarat sebuah pulau di angkasa, sehingga satelit adalah aset negara yang strategis. Satelit telah menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai oleh negara.

Kenyataan bahwa satelit merupakan teknologi yang terintegrasi dengan teknologi komunikasi dan teleskop, berarti satelit merupakan pancaindera suatu negara. Satelit bisa digunakan untuk meramalkan iklim, memetakan daratan, memotret lokasi, mengindera sumberdaya alam dan menjadi alat navigasi seperti GPS dan lain sebagainya.

Pihak asing, dalam hal ini Singapore yang kita tahu masih dalam rentang kendali Inggris melalui Common Wealth (Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran) yang terdiri dari eks negara-negara koloni Inggris, menyadari betapa strategisnya Satelit Palapa. Sehingga melalui Perang Asimetris yang sejatinya merupakan upaya melumpuhkan kekuatan strategis sebuah negara melalui sarana-sarana non militer, maka misi pokok yang kemudian dtetapkan adalah: Rebut Satelit Palapa Untuk Lumpuhkan Indonesia.

 Dalam perhitungan pihak asing, dalam hal ini Singapore dan Inggris, tanpa adanya satelit, maka Indonesia akan menjadi buta dan tuli. Bukan itu saja. Bahkan privasi kita sebagai bangsa diketahui oleh orang lain. Bayangkan. Seluruh komunikasi, transaksi perbankan  bahkan rahasia negara kita bisa dimonitor secara transparan oleh kekuatan asing. Jadi untuk memata-matai Indonesia tidak perlu repot-repot mengadakan penyadapan dan operasi intelijen. Karena Indonesia memang sudah “telanjang bulat” termasuk dalam sistem pertahanan dan keamanan negara.

Inilah yang saya singgung di awal tulisan tadi. Pengambil-alihan kepemilikan saham BUMN yang bernama Indosat, akhirnya menciptakan bencana geopolitik. Bukan sekadar hilangnya hak milik ekonomi.

Di sinilah sejarah kelam Gita Wirjawan sudah selayaknya terdokumentasi sebagai konsultan Temasek Singapure yang berhasil mengatur penjualan aset strategis tersebut dengan mulus. Sehingga beralih tanganlah INDOSAT dengan harga murah.

Sejak penjualan itu, Indonesia menjadi ajang penyadapan antek-antek asing. Dan pemilik baru Indosat meraup untung milyaran dolar.

Perlu diingat, masih banyak Gita Wirjawan-Gita Wirjawan lain di negeri kita, yang siap membantu pihak asing untuk lumpuhkan Indonesia di semua sektor strategis.  
     
Oleh: Hendrajit, Redaktur Senior Aktual