Jakarta, aktual.com – Coba kita membayangkan diri kita dalam sebuah kondisi yang sangat menyulitkan dan mengancam keselamatan. Setiap hari kita dimusuhi oleh para tetangga, disakiti orang-orang sekitar dengan berbagai tindakan dan ucapan, dicemooh, dikucilkan dan lain sebagainya tanpa ada satu kesalahan pun yang kita perbuat kepada mereka. Semua hanya karena salah paham dan ketidaktahuan mereka tentang kita. Adakah Anda merasa betah hidup di lingkungan yang demikian?

Pada kondisi seperti itu tiba-tiba ada seorang yang dipandang mulia, berkedudukan tinggi, berpengaruh luas di masyarakat, mengundang Anda untuk hadir ke rumahnya. Di sana Anda dijamu bak raja dan diperlakukan dengan sangat manusiawi. Segala kebaikan yang sedikitpun tak pernah Anda rasakan di kampung Anda kini Anda raih dari orang yang luar biasa baik ini. Apa pun yang Anda butuhkan pasti akan dipenuhinya dengan segala hormat. Dan bila Anda diberi kesempatan untuk memilih, akankah Anda memilih tetap tinggal bersamanya atau pulang kembali ke rumah Anda dengan risiko akan kembali menghadapi berbagai kesusahan dan ancaman keselamatan?

Gambaran yang demikian itu yang dihadapi oleh Baginda Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum dan ketika ia berisra’ mi’raj. Para ahli sejarah menuturkan bahwa ia di-isra’ mi’raj-kan oleh Allah di sebuah masa yang oleh mereka disebut ‘âmul huzni, tahun kesedihan. Dinamakan demikian karena pada saat itu Rasulullah mengalami beberapa peristiwa yang menjadikan ia sangat terpukul dan mengalami kesedihan yang teramat sangat.

Setidaknya ada tiga hal yang menjadikan alasan tahun itu disebut sebagai tahun kesedihan.

Pertama, pada tahun itu paman beliau, Abu Thalib, meninggal dunia. Bagi Rasulullah sang paman adalah perisai dakwahnya. Ia yang selama ini membentengi sang rasul dari tindakan-tindakan keji yang akan dilakukan oleh kaum kafir quraisy atas dakwah yang dilakukannya. Karena kedudukan dan kehormatan sang paman di kalangan penduduk Makkah mereka segan untuk menyakiti nabi. Maka ketika Abu Thalib meninggal dunia kaum kafir Quraisy bergembira. Tak ada lagi orang yang menghalangi usaha-usaha mereka untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad. Tidak adanya Abu Thalib berarti tidak adanya lagi orang tua yang membela dan melindungi Rasul dalam menyampaikan risalah Tuhan.

Kedua, pada tahun yang sama istri Rasulullah, Sayidatina Khadijah, meninggal dunia. Kepergian istri tercinta ini dirasa sangat berat oleh ia. Baginya Khadijah bukan saja seorang istri tercinta. Ia adalah pendamping dakwah sang suami yang selalu membuat tenteram hati ketika berbagai rintangan ditemui. Dukungannya terhadap dakwah rasul tak hanya ditunjukkan dengan sikap sebagai istri, tapi juga dengan segala kemampuan harta benda yang dimiliki sebagai seorang yang kaya raya di masanya. Kehilangannya adalah kemarau yang merenggut setiap sumber air kehidupan.

Ketiga, sebelum isra’ mi’raj kaum kafir quraisy mengisolasi seluruh keluarga Rasul yang terkumpul dalam Bani Hasyim. Mereka melarang setiap orang berhubungan dengan Bani Hasyim dalam segala hal. Tak ada komunikasi, transaksi jual beli, dan berbagai bentuk hubungan lainnya dengan Bani Hasyim. Ini menjadikan Rasulullah beserta segenap keluarga besarnya mengalami kesulitan hidup yang luar biasa.

Dalam masa kesedihan dan kesusahan seperti itulah Allah meng-isra-mi’raj-kan Rasulullah, memperjalankannya dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina, lalu menuju sidratul muntaha untuk bertemu langsung dengan-Nya. Ketika Rasul sampai di sidratul muntaha ia disambut penuh hangat oleh Allah dan terjadi dialog yang akrab di antara keduanya.

Tentu apa yang dialami oleh Rasul ini sangat berkesan dan menjadi pelipur lara baginya. Bila sebelumnya di bumi ia menerima cacian, hinaan, dan perilaku tidak baik  lainnya, maka kini di langit ia menerima kemuliaan dan segala perilaku hormat yang luar biasa dari Dzat yang maha luar biasa. Namun semua kemuliaan yang diterima ini tak membuat Rasulullah lupa diri. Enak dan tenteramnya berada di sisi Allah tak membuatnya enggan untuk kembali lagi ke bumi. Sebagai seorang kekasih, barangkali, andai saja ia meminta kepada Allah untuk terus berada di langit dengan segala kenikmatannya tentulah permintaan itu akan dipenuhi.

Namun hal itu tidak dilakukannya. Ia lebih memilih untuk kembali turun ke bumi dengan segala risiko yang akan dihadapi. Baginya setiap kenikmatan yang didapatkan saat bersama Tuhan di langit mesti dibagi dan ditebarkan sebagai rahmat di muka bumi.

Sikap ini menjadi pendidikan luhur bagi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Naik dan bertemunya Rasulullah dengan Allah adalah sebuah gambaran seorang yang sedang atau telah berada pada posisi atas, baik dalam hal ruhani atau lainnya seperti status sosial, ekonomi, dan pangkat jabatan.  Sedang turunnya beliau ke bumi adalah cerminan sikap tidak melalaikan dan mau berbagi kebahagiaan kepada mereka yang kebetulan berada pada posisi bawah.

Sedekat apa pun seorang Muslim dengan tuhannya tidak semestinya ia lebih suka berasyik masyuk dalam sejumlah ritual ibadah lalu lupa berbaik-baik dengan masyarakat di sekitarnya. Kedekatannya dengan Allah semestinya juga menjadikannya dekat dan baik terhadap sesama makhluk-Nya. Kebaikan yang ia hasilkan dari kedekatannya dengan tuhan semestinya tidak ia nikmati sendiri, namun semestinya ia bagi dalam bentuk baiknya hubungan dengan sesama makhluk baik manusia, binatang, pepohonan, jalanan, sungai-sungai, dan lingkungan sekitar pada umumnya.

Seorang yang secara ekonomi sedang atau telah berada di atas semestinya kemampuan ekonominya itu tidak ia nikmati sendiri. Dengan kemampuan ekonominya ia semestinya juga memampukan orang-orang yang ada di sekitarnya. Mereka yang memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi semestinya tidak memanfaatkan kedudukan dan jabatannya itu hanya untuk kepentingan diri dan keluarga, namun juga untuk memberikan sebesar-besar kemanfaatan dan kemaslahatan lingkungannya.

Tidak dipungkiri memang, bahwa untuk turun memberikan sebanyak dan sebesar manfaat dan maslahat bagi mereka yang ada di bawah berbagai rintangan mesti dihadapi, cobaan mesti dilewati, dan pengorbanan mesti dilakoni. Sebagaimana Rasulullah juga menyadari bahwa beribu rintangan, cobaan dan pengorbanan telah menantinya bila turun kembali ke bumi untuk menebar rahmat bagi semesta ini. (nu online)

Artikel ini ditulis oleh:

Eko Priyanto