Jakarta, Aktual.co — Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah atau disingkat “Jasmerah” adalah semboyan yang diucapkan oleh Bung Karno, sebagai pidato yang terakhir saat memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1966. 
Sejarah nenek moyang telah merilis sejak dulu kala tentang tiga Soko Guru Bangsa, yakni Kaum Buruh, Kaum Tani dan Kaum Nelayan. Dari ketiga soko guru bangsa ini, yang masih jauh dari cita-cita kemerdekaan adalah Kaum Nelayan. Tingkat kesejahteraan yang rendah pada sebagian besar kaum nelayan tercermin dari rendahnya pendapatan dan lemahnya “posisi tawar” pada hampir setiap transaksi kehidupan ekonominya, belum lagi tingginya risiko yang harus ditanggung serta  mahalnya investasi yang harus dikeluarkan, menyebabkan sebagian besar kaum nelayan sulit untuk maju. Ini makna Jasmerah yang hakiki jika kita tidak ingin melupakan sejarah tentang penduduk di jaman nenek moyang yang dalam perkembangannya terciptanya lagu ‘Nenek Moyangku Orang Pelaut’ itu. 
Untuk memutus mata rantai kemiskinan kaum nelayan, sejak awal 1970-an, Pemerintah Orde Baru meluncurkan program motorisasi nelayan. Melalui motorisasi ini kredit mesin kapal nelayan disediakan sehingga penggunaan layar semakin ditinggalkan. Kredit disediakan oleh tengkulak yang menyediakan dana operasi kapal. Produksi ikan tangkap kemudian tumbuh dengan meyakinkan selama bertahun-tahun kemudian, sehingga suatu ketika banyak kawasan perikanan mengalami situasi tangkap-lebih (overfished). Namun demikian, nilai tambah sektor perikanan tidak dinikmati nelayan. Nilai tambah itu hanya dinikmati tengkulak dan pedagang. Nilai tukar nelayan merangkak lambat sekali. Kawasan pesisir konsisten menjadi kantong-kantong kemiskinan hingga hari ini melewati dekade pertama abad 21. Ini menjadi paradoks dan memprihatinkan.
Tampaknya blusukan menjadi ciri para anggota Kabinet Kerja, termasuk menteri yang berada di bawah koordinasi Menko Kemaritiman. Namun, sesungguhnya blusukan akan lebih efektif jika dibarengi dengan pemahaman komprehensif tentang peta kependudukan nelayan Indonesia. Tujuannya tentu saja untuk memperoleh gambaran secara jelas kondisi dan karakteristik penduduk nelayan yang menjadi subyek dan obyek kebijakan. Tanpa memahami situasi makro kependudukan, pemahaman masalah menjadi parsial dan efektivitas kebijakan kurang optimal. Meskipun sektor kemaritiman berdimensi luas, mencakup perikanan, energi, pertambangan, pariwisata, transportasi, dan sebagainya, subsektor perikanan tampaknya perlu menjadi salah satu fokus kebijakan kemaritiman pemerintahan Jokowi-JK. Gambaran umum mengenai kehidupan nelayan yang notabene tinggal di kawasan pesisir menjadi informasi dasar dalam menyusun perencanaan sektor kemaritiman ke depan. Ini makna jika nelayan merupakan ‘Garda Terdepan’ dalam konteks pembangunan kelautan. Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2013 (Badan Pusat Statistik), lanjutnya, diketahui bahwa hanya 2,2% rumah tangga di Indonesia yang memiliki kepala rumah tangga berprofesi sebagai nelayan. Jumlahnya sekitar 1,4 juta kepala rumah tangga nelayan. Maknanya, ada sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang kehidupannya bergantung kepada kepala rumah tangga yang berprofesi sebagai nelayan. Sementara secara keseluruhan jumlah nelayan di Indonesia diperkirakan sebanyak 2,17 juta. Ada sekitar 700 ribu lebih nelayan yang berstatus bukan sebagai kepala rumah tangga. Sebagian besar nelayan tinggal tersebar di 3.216 desa, yang terkategori sebagai desa nelayan. Dan secara geografis, nelayan ada di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tidak mengherankan mengingat dua per tiga wilayah Indonesia adalah lautan serta memiliki potensi perikanan sangat besar. Disinilah makna nelayan yang sejatinya menjadi ‘SDM Potensial’ dalam poros maritim Indonesia. Jumlah nelayan paling banyak di Indonesia ialah Jawa Timur, mencapai lebih dari 334.000 nelayan. Diikuti Jawa Tengah, lebih dari 203.000 nelayan. Menyusul Jawa Barat, sekitar 183.000 nelayan. “Ironisnya, walaupun seafood menjadi makanan yang mahal, tingkat kesejahteraan nelayan umumnya lebih rendah dibandingkan dengan kaum buruh dan kaum tani. Rata-rata pengeluaran nelayan hanya sekitar Rp. 561.000 per bulan, lebih rendah dibandingkan dengan kaum tani dengan pengeluaran sebesar Rp. 744.000 per bulan. Tingkat upah nelayan juga hanya sekitar Rp. 1,1 juta per bulan, sedikit di bawah kaum buruh yang memiliki upah Rp. 1,2 juta per bulan” terangnya. Para nelayan, memang kurang beruntung ditinjau dari aspek pendidikan, dengan hampir 70% nelayan berpendidikan SD ke bawah dan hanya sekitar 1,3% yang berpendidikan tinggi. Pemerintah juga perlu memperhatikan aspek kesehatan para nelayan yang menunjukkan sekitar 25% nelayan mengalami gangguan kesehatan. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa gangguan kesehatan tersebut mengganggu aktivitas mereka mencari nafkah, sehingga berdampak pada ekonomi rumah tangganya. Hanya 54% nelayan yang memiliki jaminan kesehatan, sehingga menjadi problem para nelayan. Dari data dan fakta ini, Relawan GANTI Pantura yang bermarkas di kampung nelayan Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang meraih kemenangan 73,61% di Kecamatan Gebang dan 61,27% di Kabupaten Cirebon dalam Pilpres 2014 untuk Jokowi-JK. Dalam momen Temu Akbar Komunitas Juang Relawan Jokowi hanya bisa menyampaikan aspirasi, yaitu memohon berdayakan nasib kaum nelayan agar terentas dari garis kemiskinan dan bisa layak dan sejahtera. Oleh: Ketua Relawan Gerakan Nelayan Tani Indonesia Pantai Utara Jawa (Relawan GANTI Pantura), H. Dade Mustofa Effendi.

Artikel ini ditulis oleh: