Jember, Jawa Timur, Aktual.com – Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA memberikan rapor merah terhadap penanganan COVID-19 di Kabupaten Jember berdasarkan kesimpulan terbaru hasil survei Citra Publik yang dilakukan secara tatap muka, dengan protokol kesehatan yang ketat pada tanggal 9-13 Juli 2020.

“Survei ini menggunakan 1.000 responden yang tersebar di seluruh kecamatan, dengan margin of rrror (MoE) sebesar +/- 3,16 persen. Selain survei kuantitatif, kami juga menggunakan riset kualitatif untuk memperkuat temuan dan analisa,” kata juru bicara Citra Publik – LSI Denny JA, Rully Akbar, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa(27/7).

Menurutnya alokasi anggaran sebesar Rp400 miliar lebih yang disediakan Pemkab Jember ternyata tidak membuat masyarakat Jember memberikan persepsi kepuasan terhadap pemerintah setempat dalam menangani pandemi COVID-19.

“Publik Jember tetap cemas dan cenderung tidak puas terhadap kinerja Pemkab Jember di bawah pimpinan Bupati Faida karena kekhawatiran publik Jember terhadap potensi tertular virus corona masih cukup tinggi,” katanya.

Ia menjelaskan sebesar 98 persen publik menyatakan bahwa mereka pernah mendengar informasi mengenai virus, kemudian 80,1 persen publik sangat/cukup percaya dengan adanya COVID-19 dan sebesar 58,4 persen publik menyatakan COVID-19 ini sangat berbahaya atau berbahaya.

“Penilaian publik terhadap kinerja Pemkab Jember dalam penanganan COVID-19 tergambar dari aneka data survei. Ibarat penilaian rapor, Pemkab Jember mendapatkan rapor merah atau penilaian yang cenderung negatif,” tuturnya.

Kekhawatiran terhadap terkena virus itu terkonfirmasi oleh persepsi publik tentang aneka informasi, bahwa sebesar 90 persen publik mengetahui bahwa COVID-19 dapat menular dari satu orang ke orang lain, dan sebesar 90,8 persen mengetahui orang yang terkena COVID-19 bisa meninggal, Sebesar 81,5 persen publik mengetahui gejala corona, di antaranya demam tinggi, batuk dengan lendir, sesak napas dan nyeri dada.

“Dalam hal kinerja pemerintah dalam menangani COVID-19, hasil survei menemukan setidaknya lima persepsi negatif atau rapor merah atas kinerja Pemkab Jember,” katanya.

Pertama, mayoritas publik (57,2 persen) menyatakan tidak pernah mendapat bantuan sosial dan mereka yang menyatakan pernah mendapat bantuan sebesar 30,3 persen dan 12,5 persen tidak menjawab.

Mereka yang menyatakan tidak pernah mendapat bantuan sosial, dari segmen etnis Madura (54,2 persen) menyatakan tidak pernah menerima bantuan sosial, sedangkan etnis lain yang tidak pernah menerima bantuan yaitu Jawa (61,2 persen) dan lainnya (16,7 persen).

Pada segmen pendidikan, mayoritas publik yang berpendidikan SD sebesar 51,9 persen menyatakan tidak pernah mendapat bantuan sosial, sebesar 55,6 persen publik pendidikan SMP menyatakan tidak pernah mendapat bantuan.

Kemudian publik pendidikan SMA juga tidak pernah mendapat bantuan (75,2 persen), sedangkan mereka yang menyatakan pernah kuliah sebesar 62,9 persen menyatakan tidak pernah mendapat bantuan sosial.

Mereka yang tidak mendapatkan bantuan sosial dari segmen gender, sebesar 56,7 persen perempuan menyatakan tidak mendapat bantuan sosial dari pemda, sedangkan laki-laki sebesar 57,7 persen menyatakan tidak mendapat bantuan sosial.

Rully menjelaskan rapor merah kedua atas penanganan COVID-19 di Kabupaten Jember adalah persepsi terhadap kondisi ekonomi masyarakat menjadi lebih/jauh lebih buruk, yakni sebesar 66,2 persen publik menyatakan kondisi ekonomi mereka dalam keadaan lebih buruk saat adanya wabah corona.

“Rapor merah ketiga atas penanganan COVID-19 di Jember adalah persepsi kepuasan terhadap kinerja bupati yang hanya mendapat poin 49,5 persen menyatakan puas dan sebesar 40 persen menyatakan tidak puas, sedangkan sisanya tidak menjawab,” katanya.

Ketidakpuasan terhadap kinerja Pemkab Jember dalam menangani COVID-19 terbagi dalam beberapa kategori, yang seluruhnya hanya berada pada tingkat kepuasan di bawah 50 persen, antara lain melakukan tes (49,8 persen), melakukan pelacakan (tracing) 45 persen, menyediakan rumah sakit dan fasilitas kesehatan (49 persen).

Kemudian menyediakan APD untuk tenaga kesehatan (43,8 persen), menyediakan ventilator (38 persen), menjamin kesejahteraan dokter dan tenaga medis (39,2 persen), menjamin ketersediaan barang kebutuhan pokok dengan harga yang stabil (48,7 persen), menyediakan bantuan sosial (46,7 persen), dan batuan kepada pekerja yang di PHK (30,2 persen).

Ia mengatakan rapor merah keempat adalah rendahnya persepsi masyarakat yang menilai kemajuan pemerintah dalam menangani COVID-19 dan hanya sebesar 46,7 persen masyarakat yang menyatakan ada kemajuan yang dilakukan pemerintah dalam menangani virus itu.

Sebesar 26 persen menyatakan tidak ada kemajuan dan sisanya tidak menjawab. Idealnya, pada pemerintah yang dianggap berhasil oleh publik harus mendapat poin kemajuan di atas 75 persen.

Rapor merah kelima atas penanganan COVID-19 di Jember adalah tingginya persepsi terhadap kekhawatiran masyarakat terhadap dampak wabah itu, sebesar 74,5 persen publik menyatakan takut tidak mendapat pekerjaan. Kemudian 79,7 persen publik khawatir tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebesar 75,5 persen khawatir mereka akan kelaparan, dan sebesar 80,5 persen khawatir jatuh sakit.

LSI Denny JA merumuskan lima rekomendasi, pertama, meski pandemi masih mewabah, kehidupan ekonomi harus tetap berjalan. Pemerintah daerah diharapkan tetap mampu mengontrol praktik kehidupan normal baru dengan menerapkan protokol kesehatan di setiap aktivitas ekonomi warga Jember.

Kedua, bantuan sosial diharapkan dapat diberikan kepada lebih banyak masyarakat Jember. Mengingat alokasi anggaran yang cukup besar dalam menangani COVID-19 di Jember, sudah seharusnya pemerintah lebih banyak, massif dan tepat sasaran memberikan bantuan sosial.

Ketiga, Bupati harus hati-hati dalam memberikan bantuan sosial karena mengingat waktu pilkada yang akan digelar sebentar lagi dan Bupati petahana akan maju kembali dalam kontestasi, sebisa mungkin menghindari abuse of power dalam memberikan bantuan menggunakan dana APBD karena akan menimbulkan masalah hukum dikemudian hari.

Keempat, perlu adanya kerja kolaborasi, sehingga semua pihak harus dilibatkan dalam melakukan edukasi dan pengawasan protokol kesehatan. Pemerintah Daerah, pimpinan dunia usaha tokoh agama, dan tokoh masyarakat bahu membahu melakukan edukasi dan pengawasan praktek protocol kesehatan untuk menghindari bertambahnya jumlah kasus bartu COVID-19.

Kelima, atas apa yang terjadi konflik antara bupati dan DPRD Jember, diharapkan tidak mengorbankan masyarakat sehingga terpuruk lebih jauh lagi dalam krisis ditengah Pandemi COVID-19, sehingga harus ada langkah-langkah bantuan yang cepat dari Pemprov Jatim maupun pusat untuk menyelesaikan konflik itu.(Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

Warto'i