Jakarta, Aktual.com – Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan rilis pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 yang mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen atau untuk pertama kalinya masuk zona negatif sejak 1999.
Hampir seluruh lapangan usaha maupun kelompok pengeluaran pada periode ini mengalami pertumbuhan minus karena kegiatan atau aktivitas usaha mengalami persoalan permintaan yang minim dari masyarakat.
Dari sisi lapangan usaha, kontraksi terjadi di berbagai kelompok seperti industri pengolahan yang minus 6,19 persen, perdagangan minus 7,57 persen dan konstruksi minus 5,39 persen.
Lapangan usaha lainnya yang ikut tumbuh negatif adalah pertambangan minus 2,72 persen, administrasi pemerintahan minus 3,11 persen dan yang terdampak paling besar yaitu transportasi dan pergudangan minus 30,84 persen.
Meski demikian, masih ada sektor yang tumbuh positif dalam triwulan II-2020 antara lain sektor pertanian 2,19 persen, informasi dan komunikasi 10,88 persen serta jasa keuangan 1,03 persen.
Dari sisi kelompok pengeluaran, konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang kontraksi terbesar dengan tumbuh negatif 5,51 persen disusul pembentukan modal tetap bruto (PMTB), yang merupakan komponen investasi, dengan tumbuh minus 8,61 persen.
Dalam periode ini, konsumsi pemerintah juga terkontraksi hingga 6,9 persen, ekspor barang dan jasa tumbuh minus 11,66 persen serta impor barang dan jasa tumbuh negatif 16,96 persen.
Pemerintah menyadari bahwa perlambatan tersebut akan terjadi seiring dengan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi kegiatan ekonomi sejak Maret 2020.
Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya mengatasi masalah kesehatan akibat COVID-19, tetapi juga berupaya meningkatkan daya beli masyarakat untuk mendorong permintaan yang mengalami kelesuan.
Berbagai upaya yang sudah dilakukan adalah dengan memberikan stimulus berupa perlindungan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan maupun dukungan insentif kepada dunia usaha baik UMKM maupun korporasi.
Tidak hanya itu, pemerintah juga memberikan pembiayaan investasi, Penyertaan Modal Negara (PMN) maupun penempatan dana untuk mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Untuk melaksanakan kebutuhan penanganan COVID-19 maupun mendukung Program PEN tersebut, pemerintah sudah memperlebar defisit anggaran hingga 6,34 persen PDB atau senilai Rp1.039,2 triliun.
Berdasarkan data terakhir, pada awal Agustus 2020, realisasi belanja penanganan COVID-19 dan PEN baru mencapai Rp145 triliun atau sekitar 21 persen dari target sebesar Rp695,2 triliun.
Stimulus belanja
Percepatan belanja pemerintah yang masih rendah dan belum optimal untuk mendorong konsumsi rumah tangga siap menjadi salah satu senjata terakhir untuk memperkuat kinerja perekonomian hingga akhir tahun.
Konsumsi rumah tangga berperan sangat krusial bagi perekonomian nasional karena menjadi penyumbang struktur PDB terbesar pada triwulan II-2020 yaitu mencapai 57,85 persen, diikuti PMTB 30,61 persen serta ekspor 15,69 persen.
Penguatan konsumsi ini juga sangat mendesak mengingat Indonesia selangkah lagi menuju resesi apabila pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2020 ikut-ikut mengalami kontraksi sama seperti triwulan sebelumnya.
Oleh karena itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengharapkan momentum pemulihan ekonomi dapat terjadi pada triwulan III dan IV-2020 agar pertumbuhan bisa kembali berada pada zona positif.
Sri Mulyani mengakui upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam situasi saat ini bukan merupakan hal yang mudah mengingat berbagai sektor lapangan usaha maupun kelompok pengeluaran mengalami kontraksi yang dalam.
Namun, tambah dia, pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait terus berupaya untuk mendorong percepatan stimulus yang sudah direncanakan agar berdampak kepada masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.
Dari sisi permintaan, pemerintah akan terus mempercepat penyaluran bantuan sosial maupun bantuan lainnya agar daya beli masyarakat terjaga dan melakukan pembenahan iklim investasi untuk mengantisipasi adanya pemulihan ekonomi.
Pemerintah juga siap mempercepat belanja yang masih terhambat dari sisi administrasi dengan mendorong Kementerian Lembaga untuk menyelesaikan dokumen pelaksanaan anggaran agar belanja pemerintah ikut menjadi stimulus.
Pemerintah, melalui Kementerian PUPR, juga akan mempercepat pembangunan infrastruktur dan program padat karya lainnya. Selain itu, juga akan membuka kawasan industri di daerah serta food estate untuk meningkatkan ketahanan pangan, kata Sri Mulyani.
Tidak hanya itu, pemerintah siap untuk melakukan inisiatif baru untuk mempercepat program PEN dengan memberikan tambahan keringanan biaya listrik bagi industri serta tambahan diskon cicilan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dari 30 persen ke 50 persen.
Pemerintah juga akan menambah bantuan beras senilai Rp4,6 triliun untuk 10 juta kelompok Program Keluarga Harapan (PKH) dan memberikan Rp500 ribu untuk penerima kartu sembako di luar PKH senilai Rp5 triliun.
Selain itu, pemerintah sedang mengkaji pemberian bantuan gaji sebesar Rp600 ribu selama empat bulan bagi 13 juta pekerja non PNS, dengan total anggaran yang disiapkan sebesar Rp31,2 triliun.
Dengan upaya all-out dari sisi belanja, Sri Mulyani mengharapkan ekonomi triwulan III dapat tumbuh pada kisaran 0-0,5 persen dan triwulan IV-2020 dapat tumbuh hingga mendekati 3 persen agar pertumbuhan minimal mencapai 0-1 persen.
“Triwulan tiga memang probabilitas negatif masih ada, karena penurunan beberapa sektor mungkin tidak pulih cepat. Triwulan empat kita berharap bisa meningkat mendekati tiga persen,” katanya.
Langkah tepat
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai optimalisasi belanja pemerintah bisa menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi pada triwulan selanjutnya.
Penyerapan belanja pemerintah yang masih tumbuh minus pada triwulan II-2020 bisa menjadi stimulus mengingat pemerintah sulit untuk mengandalkan komponen pengeluaran lainnya seperti investasi maupun ekspor.
Bhima juga mengatakan belanja pemerintah bisa menjadi instrumen untuk mencegah potensi terjadinya pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi pada triwulan berikutnya dan menyebabkan adanya resesi.
“Ini salah satu penyebab kenapa kita akan masuk resesi pada kuartal III, kalau ternyata belanja pemerintah tidak bisa diandalkan sebagai motor utama untuk mendorong pemulihan ekonomi,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia menegaskan pemerintah harus segera mengurai masalah birokrasi pencairan anggaran yang masih menghambat realisasi belanja barang, jasa maupun pegawai pada periode April-Juni 2020.
Ekonom Chatib Basri juga mengingatkan pentingnya pemberian bantuan sosial dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dampaknya lebih efektif kepada masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19
BLT, kata dia, perlu diperluas tidak hanya kepada kelompok miskin tetapi juga kepada masyarakat rentan miskin akibat dampak COVID-19, apalagi Bank Dunia memperkirakan ada 115 juta orang Indonesia yang rentan miskin.
Ia menyakini adanya BLT akan mendorong daya beli dan meningkatkan konsumsi rumah tangga sehingga pada akhirnya bisa mempengaruhi permintaan dan masuknya investasi secara keseluruhan.
Selain dari pembiayaan utang, dana untuk BLT bisa berasal dari realokasi Kementerian Lembaga, dengan menunda proyek-proyek infrastruktur, serta lebih memprioritaskan perawatan selama sekitar enam bulan.
Ia juga tidak mempermasalahkan apabila alokasi belanja berpengaruh terhadap pelebaran defisit anggaran lebih tinggi dari 6,34 persen terhadap PDB, karena pemerintah masih mempunyai ruang untuk itu.
“Kalau situasi ekonomi belum memungkinkan, ekspansi saja,” kata Menteri Keuangan periode 2013-2014 itu.
Hantu resesi memang menjadi sosok yang menakutkan mengingat berbagai negara maju maupun berkembang seperti Jerman, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat sudah mengalami kelesuan ekonomi. Termasuk Hong Kong.
Untuk itu, pelaksanaan belanja stimulus di triwulan III 2020 menjadi pertaruhan penting bagi perekonomian Indonesia agar momentum pembenahan yang telah direncanakan pemerintah tidak terbuang dengan sia-sia. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin