Jakarta, Aktual.co — Tepat pada 13 Mei 2015, Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) telah resmi mengakhiri masa kerjanya yang telah dijalani selama enam bulan sejak dibentuk. Diakhir masa kerjanya, tim yang dikomandoi oleh Faisal Basri ini memberikan 12 rekomendasi kepada pemerintah yang bertujuan untuk membenahi tata kelola minyak dan gas di Indonesia.
Salah satu rekomendasi tim RTKM adalah menghentikan impor RON88 dan Gasoil 0,35 persen sulfur, dan menggantinya masing-masing dengan impor Mogas92 dan Gasoil 0,25 persen sulfur. Produksi minyak solar oleh kilang di dalam negeri ditingkatkan kualitasnya, sehingga setara dengan Gasoil 0,25 persen sulfur dan mengalihkan produksi kilang domestik dari bensin RON88 menjadi bensin RON92.
Menanggapi hal itu, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria justru lebih memilih mengkritisi rekomendasi penghapusan RON 88 tersebut.
Menurutnya, hal itu menjadi persoalan baru bahkan masalah serius, karena memaksakan masyarakat untuk membeli BBM jenis RON 92 (Pertamax) yang lebih mahal dari RON 88 (Premium). Pemerintah dan Tim RTKM tidak bisa memberikan pertimbangan atau alasan jika persoalan lingkungan, karena negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, Mesir dan negara lainnya masih menggunakan Ron 88. Namun, jika pertimbangan masalah harga maka harga Ron 88 lebih murah ketimbang Ron 92.
“Saya liat Ron 88 dan Ron 92 itu hanya masalah pergantian siapa yang importir saja, hanya berganti rezim kok, kecuali itu murni bisa di produksi di negeri kita, karena Ron 88 kan bisa di produksi Kilang cilacap, Kilang Balikpapan, dan Kilang Balongan,” kata Sofyano kepada wartawan di Jakarta, Kamis (14/5).
Ia menegaskan, jika Pemerintah tetap bersikeras menghapus Premium, maka akan terjadi multi efek yang cukup besar, seperti terjadinya inflasi hingga mencapai 1 persen.
“Naiknya kurs dollar terhadap rupiah karena pembelian menggunakan USD, hingga kenaikan harga bahan pokok, logistik dan elektronik Jangan lupa BBM merupakan hajat hidup orang banyak, sedikit saja kebijakan kenaikan harga maka akan berdampak pada tatanan ekonomi lain,” terang dia.
Ia menyarankan Pemerintah agar terlebih dahulu memperbaiki kilang domestik agar bisa memproduksi produk BBM RON 92.
“Solusinya sebenarnya gampang, tetap memberlakukan RON 88 sambil perlahan-lahan perbaiki kilang kita untuk bisa memproduksi RON 92, tapi jangan waktu dekat menghapus RON 88, karena berat kalau harus pindah ke RON 92,” imbuhnya.
“Misalkan RON 88 tetap dijual namun volume dikurangi, sambil kilang-kilang diperbaiki satu persatu, kalau semua kilang langsung di upgrade maka akan lumpuh kilang kita,” tukasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby