“Pada awalnya AICIS tahun ini mengusung tema public policy saja. Dan tema itu sudah disiapkan oleh panitia sejak sebelum pandemi Covid-19,” kata Menag di Solo, Senin (25/21). Ajang ini dibuka oleh Wapres KH Ma’ruf Amin.
“Tetapi saya kemudian meminta kepada panitia untuk mengubahnya dan memasukkan kajian fiqh dalam era pandemi ini,” sambungnya.
Menurut Menag, kajian rekontekstualisasi fikih sangat relevan dengan perkembangan dunia saat ini. Setidaknya ada 14 konteks pentingnya tema ini menjadi pembahasan di gelaran AICIS 2021:
1. Dalam teori hukum Islam klasik (usul fiqh), norma agama (ahkam; singular, hukm) merupakan respon terhadap kenyataan. Tujuan norma agama (maqasid al-shari’ah) adalah untuk menjamin kesejahteraan spiritual dan material kemanusiaan.
2. Ahli hukum Sunni yang diakui oleh dunia, Imam al-Ghazali dan Imam al-Shatibi, mengidentifikasi lima komponen utama maqasid al-shari’ah, yaitu pelestarian iman, kehidupan, keturunan, akal dan harta benda.
3. Norma-norma agama bisa bersifat universal dan tidak berubah—misalnya, keharusan seseorang berusaha mencapai kesempurnaan moral dan spiritual—atau bisa juga bersifat “fleksibel”, jika dihadapkan pada masalah spesifik yang muncul dalam situasi waktu dan tempat yang selalu berubah.
4. Seiring dengan perubahan realitas, fleksibilitas norma agama—yang bertentangan dengan norma agama universal—juga harus berubah untuk mencerminkan keadaan kehidupan yang terus berubah di bumi. Hal ini sebenarnya dimulai pada awal abad Islam, pada saat berbagai aliran hukum Islam (madzhab) muncul dan berkembang. Selama lima abad terakhir, meskipun begitu, praktik ijtihad (penalaran hukum independen, yang digunakan untuk menciptakan norma-norma agama baru) pada umumnya telah berakhir di seluruh dunia Muslim Sunni.
5. Ketika orang-orang Muslim kontemporer mencari bimbingan agama, sumber referensi yang paling banyak diterima dan otoritatif—menurut standar ortodoksi Islam—adalah corpus (kumpulan tulisan) pemikiran Islam klasik—dan terutama fiqh (yurisprudensi)—yang mencapai puncak perkembangannya di Abad Pertengahan, hingga kemudian berhenti dan sebagian besar tidak berubah sampai hari ini.
6. Kesenjangan yang luas saat ini terjadi antara struktur ortodoksi Islam dan konteks realitas aktual Muslim (di mana manusia hidup saat ini), karena adanya perubahan besar yang telah terjadi sejak ajaran Islam ortodoks mulai meningkat menjelang akhir abad pertengahan.
7. Perbedaan antara prinsip-prinsip kunci dari ortodoksi Islam dan realitas peradaban kontemporer dapat, dan sering terjadi, membawa umat Islam ke dalam bahaya fisik, moral dan spiritual, jika mereka berniat untuk mengamati elemen fiqh tertentu, terlepas dari konteks mereka saat ini. Di antara isu kompleks yang terletak di jantung perbedaan ini adalah:
a. Praktik normatif yang mengatur hubungan antara Muslim dan non-Muslim, termasuk hak, tanggung jawab dan peran non-Muslim yang tinggal di masyarakat berpenduduk mayoritas Muslim, dan sebaliknya;
b. Adanya negara bangsa modern dan validitasnya—atau kekurangannya—sebagai sistem politik yang mengatur kehidupan umat Islam; dan
c. Konstitusi negara dan hukum / sistem hukum yang muncul dari proses politik modern, dan hubungannya dengan syari’ah.
8. Ketidakstabilan sosial dan politik, perang saudara dan terorisme yang timbul dari tindakan dari kelompok-kelompok Muslim ultrakonservatif yang bersikeras menerapkan elemen fiqh tertentu dalam konteks yang tidak lagi sesuai dengan norma klasik yang ada di era awal Islam.
9. Setiap usaha untuk mendirikan negara Islam-al-imamah al-udzma universal (Imamah Agung), juga dikenal sebagai al-khilafah (Khilafah) – hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam, karena akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia.
10. Sejarah Islam setelah kematian menantu Nabi (saw), Sayyidina Ali, menunjukkan bahwa setiap usaha untuk memperoleh dan mengkonsolidasikan kekuatan politik / militer dalam bentuk kekhalifahan pasti akan disertai dengan pembantaian antara satu pihak dengan yang lain. Hal ini merupakan tragedi bagi komunitas Muslim secara keseluruhan, terutama pada awal sebuah dinasti baru.
11. Bila usaha ini menyatu dengan perintah ortodoks untuk terlibat dalam perang melawan non-Muslim—sampai mereka masuk Islam atau tunduk pada peraturan Islam, sehingga seluruh dunia dapat bersatu di bawah panji-panji Islam—maka hal ini akan menimbulkan konflik tiada akhir, yang daya tariknya semakin meluas kepada umat Islam karena berakar pada sejarah dan ajaran Islam itu sendiri.
12. Memang, beberapa elemen dalam fiqh menggambarkan konflik semacam itu sebagai kewajiban agama—yang kadang-kadang merupakan kewajiban bagi komunitas Muslim pada umumnya, atau, pada setiap pria dewasa Muslim, tergantung pada keadaan yang ada—karena norma-norma agama ini muncul pada saat konflik antara Islam dan negara-negara tetangga non-Muslim, bisa dibilang merupakan sesuatu yang hampir universal.
13. Jika umat Islam tidak memikirkan kembali ajaran kunci dari ortodoksi Islam yang memberi wewenang dan secara eksplisit memerintahkan kekerasan semacam itu, siapa pun—kapan saja—dapat memanfaatkan ajaran Islam ortodoks tersebut untuk menentang apa yang mereka klaim sebagai hukum dan otoritas tidak sah dari negara kafir dan membantai sesama warga negara mereka, terlepas dari apakah mereka tinggal di dunia Islam atau di Barat. Ini adalah benang merah yang menghubungkan begitu banyak kejadian terkini, mulai dari Mesir, Suriah dan Yaman sampai ke jalan-jalan di Mumbai, Jakarta, Berlin, Nice, Stockholm, Westminster dan lain-lain
14. Perselisihan sipil, tindakan terorisme, pemberontakan dan peperangan—yang dilakukan atas nama Islam—akan terus mengganggu umat Islam, dan mengancam umat manusia pada umumnya, sampai isu-isu ini secara terbuka diakui dan dipecahkan
“Jelas, dunia membutuhkan sebuah ortodoksi Islam alternatif, yang akan dirangkul dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam di dunia,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Nurman Abdul Rahman