Jakarta, Aktual.com – Ketua Subkomisi Pendidikan Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi Indonesia yang tidak dilaporkan oleh korban ataupun pihak yang mengetahuinya.
“Kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi itu lumayan banyak. Kalau sekarang terasa adem ayem, itu karena memang banyak korban yang tidak melapor,” kata Alimatul Qibtiyah saat menjadi narasumber dalam webinar nasional bertajuk “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi” yang diunggah dalam kanal YouTube Universitas Ahmad Dahlan, dipantau dari Jakarta, Sabtu (30/10).
Ia pun memaparkan salah satu hasil survei dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang menunjukkan sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya itu.
Ketua Subkomisi Pendidikan Komnas Perempuan ini juga memaparkan beberapa tindakan kekerasan seksual yang sudah sepatutnya dilaporkan oleh para korban kepada pihak perguruan tinggi atau kampus.
Di antaranya adalah ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, diperlihatkan alat kelamin tanpa persetujuan korban, serta menerima ucapan yang memuat rayuan, lelucon, ataupun siulan yang bernuansa seksual.
Menurut Alimatul Qibtiyah, penyebab ketidakberanian korban kekerasan seksual untuk melaporkan hal yang ia alami itu adalah konsep ideal perguruan tinggi di Indonesia yang aman dan nyaman dari kekerasan seksual belum tercapai sepenuhnya.
Idealnya, setiap perguruan tinggi di Indonesia merdeka dari segala bentuk kekerasan dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensinya. Akan tetapi, pada praktiknya kemerdekaan dari kekerasan seksual belum dipenuhi oleh perguruan tinggi.
Untuk itu, lanjut Alimatul Qibtiyah, pemimpin perguruan tinggi dapat segera bertindak untuk menjadikan kampus di Indonesia berkelas dunia karena mereka dipastikan memiliki infrastruktur yang jelas terkait pencegahan dan penangan kekerasan seksual di dalamnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
As'ad Syamsul Abidin