Jakarta, Aktual.co — Sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebut ada tiga bentuk korupsi, dari sogokan (bribery), pemerasan (extortion), hingga nepotisme. Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang bersangkutan maupun dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).
Inti dari ketiga bentuk korupsi itu, menurut kategori Alatas, adalah subordinasi kepentingan umum di bawah tujuan-tujuan pribadi, yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dilakukan berbareng dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.
Kasus rekening gendut perwira tinggi dan menengah Polri, jelas melukai hati rakyat. Wajar jika ada syak dalam benak khalayak. Apalagi jika ditelisik dari logika umum kewajaran penghasilan nyata para petugas negara, di luar gaji resmi masing-masing. Karena itu tak heran, jika sebagian khalayak bersorak saat KPK (Komisi Pembrantasan Korupsi) mentersangkakan Komjen Budi Gunawan (BG) dalam suatu kasus korupsi.
Namun penetapan tergesa yang dilakukan Ketua KPK, Abraham Samad (AS) itu ternyata memicu ihwal baru, yang memancing tindakan balasan dari para pihak yang berkeberatan. AS dinilai telah bersikap manipulatif dan korup pula atas wewenangnya sebagai komisioner KPK. Bahkan mencuat pengakuan dan kesaksian Plt Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, bahwa tindakan AS mentersangkakan BG lebih didorong oleh dendam pribadinya yang sakit hati akibat tidak terpilih menjadi calon wakil presiden, karena BG lebih menginginkan Jusuf Kalla sebagai pendamping Joko Widodo dalam Pilpres 2014 lalu.
Apa yang disampaikan Hasto itu cukup beralasan kuat. Karena jika dikaitkan dengan misteri kasus rekening gendut, mengapa para jendral Polri lain tidak diusut. Demikian pula, mengapa hanya BG yang ditersangkakan, ketika yang bersangkutan resmi dijadikan calon tunggal Kapolri dan disetujui mutlak lagi oleh ke10 fraksi partai politik yang ada di DPR RI. Apalagi konon AS pun, menurut Hasto, jauh-jauh hari pun sempat mengancam akan ‘melenyapkan’ siapa pun yang telah menghambat pencawapresannya.
Sikap terburu nafsu dan gegabah itu pula, yang membuat Sarpin Rizaldi, Hakim Praperadilan pada Senin 16 Februari ini menyatakan penetapan KPK yang mentersangkakan BG itu menyalahi prosedur karena tidak mempunyai dasar hukum. Keputusan PraPeradilan itu secara gamblang juga bermakna bahwa para pengambil keputusan di KPK telah menyalahgunakan wewenang yang telah dirumuskan secara formil dan materiil dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Alhasil drama ini sedikit banyak menguak juga bahwa tidak tertutup ada kemungkinan tindakan yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat yang dilakukan oleh (oknum) komisioner dalam lembaga anti rasuah ini. Sebab bisa saja keputusan pentersangkaan seseorang itu ditumpangi motif politik dari oknum komisioner KPK. Bahkan sinyalemen bahwa ada tangan asing yang ikut mengendalikan ‘politik pembrantasan korupsi’ melalui KPK dengan ‘back up’ dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) penerima dana asing, boleh jadi benar adanya.
Sambil menggerutu, khalayak mulai mempertanyakan bahwa KPK terutama semasa kepemimpinan AS pun terindikasi menjalankan politik pembrantasan korupsi tertentu, yang cenderung terkait kepentingan pencitraan. Bahkan pula demi character assassination atas kelompok tertentu. Sehingga tidak heran, jika banyak ‘koruptor’ dari partai-partai berlatar Islam ditersangkakan. Juga ‘koruptor’ dari partai kaum borjuis nasional dan partai nasionalis berhaluan kiri. Sementara yang terkait perkara korupsi itu, seperti dalam kasus pemberi gratifikasi, karena rata-rata berasal dari kelompok perusahaan multinasional tidak pernah ditersangkakan dan divonis.
Kasus korupsi terbesar dan terbanyak di ranah industri migas dan enerji, nyaris tak pernah disentuh KPK. Begitu pula yang terkait proyek infrastruktur. KPK lebih asyik memainkan kasus korupsi yang sekaligus bisa dikemas mirip seri sinetron yang memukau perhatian khalayak, dan memojokan politisi sebagai koruptor. Sementara para pebisnis yang umumnya juga koruptor, apalagi yang berasal dari perusahaan asing, tetap leluasa tidak terpantau dan ditindak.
Yang terjadi kemudian adalah saling sandera di antara para oknum penegak hukum, mulai dari Polri, Kejaksaan Agung, KPK, bahkan juga lembaga perwakilan rakyat DPR RI. Terlepas bahwa banyak oknum penegak hukum yang korup, namun tidak seyogyanya KPK ikut korup, meski korup dalam arti politik dan penyalahgunaan wewenang.
Artikel ini ditulis oleh: